c | Sounds Of The End 14 | Journey To Northen Light

Sounds Of The End 14

dan ku pikir air hujan yang turun itu akan membawamu mendekat,
menghapus bayangan sunyi dalam jiwaku.
Aku duduk kesepian di danau, menimbang nimbang pikiran anehku akan Mikhael. sekarang dengar, aku sendiri tidak bisa mengelak kalau Mikhael memang sengaja menjauhiku sedari ujian nasional berakhir. kalau begini aku bisa apa? perutku serasa mual, dadaku sakit sekali kalau aku meningat kilas balik kehidupanku yang dulunya sangat mengagumi Mikhael kemudian mendapatkan keajaiban luar biasa bisa bersamanya, dan kemudian mendapatan keadaan konyol semacam ini.
Mikhael pengecut sekali. ia tidak mau berkata apa apa padaku, hanya pergi begitu saja? ini apa sih?
aku menahan kesakitan tak kasat mata di dada. Aku ingin berteriak keras, menangis, atau kalau bisa memukul Mikhael, tapi sel sel yang melakukan itu semua seperti membeku terkejut. 

Kau ingat saat kecil ketika duduk di mobil? lalu berpikir matahari mengikuti mu, lalu kau turun dan berlari kearah kanan dan kiri, dan tetap saja matahari sialan itu terasa mengikutimu, dan sampai disana, sudah cukup, kau berpikir matahari itu benar benar mengikutimu.
dan ketika kau tumbuh dewasa kau menyadarinya perlahan bahwa itu tidak benar. :( hanya karena kau mendapatkan alasan rasional.
tapi keadaan ini berbeda, Mikhael tidak pergi perlahan seperti itu.
Dia seperti matahari yang mengikutimu saat kecil, dan ketika dewasa Matahari itu tidak ada, entah dimana. hanya tidak ada, menghilang begitu saja, membuat bumi terlihat gelap.
dan itulah yang ku rasakan saat ini.

Aku menatap jam tanganku, dan masih pukul 3.20. suasana danau membuatku teringat Mikhael lebih banyak, dan hal hal membosankan ini membuat waktu waktu berjalan lebih lambat.
jadi aku pun memutuskan pergi ke bengkel Ayah, dan sedikit kemungkinan berharap bisa bertemu Mikhael. bagaimanapun kantor Ayanya disebelah bengkel Ayahku.

Aku harus berjalan keluar dari perumahan.
lalu berjalan dijalan raya sekitar 10 menit barulah aku bisa melihat deretan toko toko, dan bengkel Ayah.
Bengkenya lumayan ramai, ku lihat Nurdin masih sibuk oleh satu motor, dan ada 2 motor lain di sampingnya, sepertinya mengganti oli.

" hey..," aku menyapa ketika mata Nurdin kearahku.

" Alaska tumben kau kemari?" aku tersenyum kecil dan berlalu pergi. aku berjalan lurus hanya ingin memeriksa ruang menunggu yang di hibur Tv itu, dan ternyata beberapa orang disana. Ayah sendiri yang berada di kasir sudah memperhatikan gerak gerikku dengan tatapan dingin.
Kedua tangannya terangkat sedikit, seakan menghakimi kehadiranku. aku menunggu hingga pelanggannya menerima uang, dan pergi, lalu aku mendekatinya.

" Biarkan aku membantumu menjadi kasir!" aku langsung duduk di kursi nyaman yang hanya beberapa senti darinya. tapi ia malah tertawa.

" Lain kali bawa bukumu, kaupun tahu perlu setengah jam sekali melayani palanggan." Ayah membiakanku duduk di kasir, dan melamun seperti idiot, karena memang benar perlu beberapa menit untuk menunggu seseorang membayar.
Seorang pria tua dengan membawa oil lokal mendekat, menjadi kasir disini mudah sekali, ayah sudah membuat nota, jadi aku hanya harus melihat nota untuk melihat harga barang tersebut.
dan dibelakangnya malah seseorang yang mengejutkan. 

" Azka..," suaraku terdengar kaget, dan cowok tinggi yang memakai celana pendek itu menjulurkan nota. oh oakay, ini seperti ganti oli nasional. Azka memberiku uang 100 ribu

" Mikhael dimana?" Aku keceplosan.

" sepertinya dia asik bermain PS di rumahnya" aku masih menahan kembalian Azka. hanya karena aku merasa ini kesempatan bagus untuk menggali keberadaannya.

" Oh rumah nya itu di perumahan Elit yang satu jalur dengan rumahku kan?" Azka mengaguk, Mikhael pernah mengatakanya tapi aku tidak tahu pasti yang mana.

" 2 lampu merah dari tempatku?" Mata azka berputar.

" Aku tidak tahu rumahmu." itu kesimpulannya.
" Oh sorry!" tapi uang kembalinya masih berada di tanganku. 
" Kalau tidak salah warna rumahnya itu yang warna hijau kan?" Azka menggeleng.
" Okay my bad!" aku menjulurkan kembalinya. dan ia mengambilnya dengan cepat sekan sudah menunggu itu beratus tahun lalu.

" Rumahnya warna orange, Rumah paling dekat dengan jalan perbatasan antara perumahan elit dan menengah." Azka berdiri, dan membalikan badan. tapi kemudian ia berbalik lagi ke arahku.

" Rumahnya paling besar dari sekitarnya. tingkat tiga." dan sekarang Azka benar benar menghilang, jejak nya cepat sekali pergi, sampai aku lupa mengucapkan terimakasih.

Hujan mengguyur, sekitar pukul 4 Ayah mengatarku pulang, tapi ia kembali ke bengkel karena 5.30 sampai 6.30 waktu istirahat kedua Nurdin.
Aku buru buru ke kamar mandi, tapi bayangan Mikhael semakin jelas setiap detik. hingga aku sendiri kehilangan semangat untuk melakukan segalanya.. dikepalaku lebih banyak tentang mikhael, mungkin karena aku tidak pernah mendapatkan jawaban atas hal hal aneh ini.
aku menatap hujan seperti orang idiot. 
dan terlintas begitu saja untuk pergi ke rumah Mikhael. dan mungkin itu cara tebaik untuk memperjelas kami. 

Ku ambil sweaterku berwarna Drakslategray. Tak lupa ku ambil beanie dengan warna Turquoise, dengan inisial AAB yang sempat dijadikan Mikhael sebagai inspirasi tatonya. aku memilih sepatu boot hitam yang panjangnya melebihi pergelangan kaki, hanya karena jalanan becek, jadi aku menyiapkan semua ini.
aku mengambil payung, karena hujan masih sedikit rintik rintik.

Aku bilang Ibuku kalau aku ingin keluar sebentar, ia tidak berpesan apapun selain pulang sebelum gelap. tapi pergi kerumah Mikhael yang berada di perumahan elit, ku pikir akan memakan waktu 20 menitan. so okay aku akan memberitahunya lewat ponsel bila aku harus tinggal leih lama.

Aku gugup, padahal baru sampai di depan rumahku.
jalanan terlihat mengkilat. rerumputan di halaman rumah tetangl.ga terlihat penuh tetesan. dan suara petir terdengar mendadak. aku buru buru mematikan ponselku. tapi tetap melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan cukup lama aku melewati dua lampu merah, lalu jalanan lebih besar sedikit sebelum sebuah gapura menjuang tingga dan tertulis " Perumahan Elit." gerbangnya terbuka lebar. lalu pos keamanan kecil di sampaing gerbang. aku menoleh sedikit tapi orang tersebut bahkan tidak berkata apa apa.

Aku berjalan dan mataku memandang sekeliling. perumahan tempat ini lebih besar. dua kali lipat dari rumahku. halamannya juga luas sekali. tapi aku tidak melihat siapapun, mungkin karena hujan, orang orang lebih banyak tinggal di rumah.
dan tidak jauh dari gerbang, sekitar 50 meter terdapat rumah bertingkat berawarna orange mencolok, aku tidak yakin kalau rumah itu tingkat 3, tapi rumah nya besar sekitar 4 atau 5 kali lipat dari rumahku. well, warna warna rumah di sekeliling berwarna kalem. tapi hanya rumah ini yang paling besar. dan mataku langsung melihat beberapa motor dengan beragam jenis di samping kanan yang terlihat seperti parkiran.
dan yang lebih mencolok pespa berwarna telur bebek Mikhael ada disana. sekarang aku yakin kalau itu rumah Mikhael.
aku mendekati rumah tersebut, jantungku tarik menarik, setengahnya membuatku ingin berbalik. tapi ini satu satunya kesempatanku. jadi aku mengumpulkan keberanian sebelum memencet bell.

Aku menutup payung, lalu menekan bell.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu.
" Hi..," aku menyapa ragu. wanita itu tersenyum.

" Ada yang bisa saya bantu?"

" Oh iya, saya ingin bertemu dengan Mikhael!" Wanita itu mengangguk, dan menyuruhku menunggu untuk duduk di kursi putih yang berada di depan rumah, lalu ia menutup pintunya lagi. tapi aku tidak bergerak dari tempatku. hanya merasa benar benar gugup.
Aku memperhatikan pintu yang tertutup, dari atas sampai bawah, benar benar tidak sabar menunggu pintu itu bergerak. dan kemudian, pintu itu memang bergerak sedikit. Mikhael sedikit bersembunyi, matanya terperajat, benar benar tidak menyangka siapa yang datang, dan sedetik kemudian seperti ingin pergi dengan berusaha menutup pintu, tapi setelah melihat ke mataku, iapun membuka pintu perlahan, hanya setengah kira kira seukuran badannya yang tidak mau keluar.


Aku memperhatikan setiap detail, tapi tetap saja aku tidak mampu membaca apapun tentang yang terjadi diantara kami. aku ingin menangis, tapi bagaimanapun itu aku berusaha keras menahannya.

“ Hey!” sapa Mikael sembari mengalihkan pandangannya.


“ Kau kemana saja? ” tanyaku dengan suara lirih. Seharunya aku marah tak diberi kabar. Terlebih setelah pertanyaan tersebut ia hanya memandangku sekilas, buru buru melarikan diri, dan sepertinya ituah keahliannya sekarang
.
“ nomermu tidak bisa dihubungi, kau tidak pernah memberi kabar. Kau bahkan tidak mau memandangku di
Perpisahan Sekolah.” Ku jaga suaraku tetap berbunyi, Meski rasanya semakin sulit mengeluarkan suara.
“ Kau menjauhiku. ” Suaraku mulai hilang. Menyisakan bisikan. Mikhael masih tak mau memandangku. Memperberat tebakanku tentang apa yang ia pikirkan. Namun aku tidak ingin memikirkan hal buruk. Ku yakinkan diriku bahwa ia masih Mikhael yang sama.


“ Tapi aku yakin kau punya alasan tersendiri.” Aku masih berpikir positif. Membangkitkan suaraku yang hampir hilang.
“Aku rindu senyum indahmu. Segala tentang dirimu.” Masih ku tatap matanya, namun aku semakin sedih melihatnya mengabaikanku. Air mataku mulai menetes dengan sendirinya. Lalu semakin deras mengalir ke pipiku. Aku masih terus memandang Mikhael. hanya bberharap sesuatu menggerakkannya, menarikku dalam dekapan.
Perlahan Mikael menoleh mendengar tangisanku yang bersedu.. Lalu ia mulai menggerakkan tangan kanannya. Menyentuh pipiku. Sekejab, Pikiran burukku musnah begitu saja. Ku condongkan tubuhku mendekat padanya. Namun Hanya beberapa detik saja, Ia seperti diingatkan sesuatu. Ia membuang muka, Lalu mengambil sesuatu disakunya; Sapu tangan ungu tua. Setelah itu Ia menyodorkan sapu tangan tersebut ke tanganku yang masih memegang payung. Aku tidak mau menerimanya, karna aku yakin itu awal yang buruk. Tapi tangannya memaksa tanganku menggenggam.
Mikael perlahan memandangku.“ Maaf! Aku lupa bilang kalau..” Ia memberi jeda. Ku harap kata yang baik.
“Kita sudah selesai.” Ujarnya. Menghancurkan hatiku seperti pecahan-pecahan kaca yang dipukul. Sekejab tubuhku tak seimbang. Bergetar tak terkendali.
“ Maaf.. kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini.” Tambah Mikael pelan. Air mataku semakin deras menetes. Aku panik. Bahkan semakin sulit untuk ku rasakan.
Ku tatap Mikael, semakin lama air mataku semakin tak terkendali. Ia tak tahan melihatku. Berubah-ubah mengalihkan pandangannya. Seperti ingin menatapku, seperti tak ingin melakukannya.

“ Apa maksudmu? ” akhirnya  suara protesku mulai dapat ku keluarkan meski berupa bisikan. Terlalu sulit mengatakannya dengan jelas, bila kepalaku membuat kilas balik luar iasa diantara kami.
“ Kita melakukan banyak hal, kau sangat menyukaiku! Kau bahkan..” Aku menelan ludah ketakutan. “ Membuatku membangkang Ayahku.” Aku ingin suaraku nampak marah, malah konyolnya itu seperti curhat sedih.
Mikhael terdiam, matanya
tak mau memandangku sekalipun.
“ Kau bilang akan mempertahankanku selama lamanya?” Kini ia menoleh.
“ Aku bahkan sudah memperingatkanmu bahwa selamanya itu waktu yang lama.” Ku ingatkan ucapannya. Membuatnya hanya dapat memandangku dengan pedih. Perlu semenit menungu keheningan ini berlalu. Aku mengerti sikap diamnya mewakili pikirannya yang tak mempunyai jawaban. Dan itu pertanda buruk.
Aku menghela nafas dalam-dalam masih memandangnya. “ kau tidak serius kan?” tanyaku. Suara itu nyaris berupa bisikan lagi. Mikael menggeleng, lalu mengalihkan pandangannya sebentar, dan kembali menatapku.
Ku harap memang tidak serius. Namun dapat ku lihat jelas, beberapa kata berkecamuk, yang tereja dalam tatapan matanya yang tak dapat ia raih.


“ Aku tidak bisa ! Aku tidak bisa lagi.” akhirnya Mikhael bersuara.
“Kau tidak cukup baik untukku.” Ia memperjelas penolakannya. Membuatku meremas peganganku ke payung. Memang begitu, seperti yang selalu ku pikirkan. Aku tidak cukup baik untuk disandingkan dengannya. Dan kini perkataan tersebut keluar dari mulutnya. Yang berarti tidak ada lagi alasan untukku berusaha baik disandingkan dengannya. Aku begitu tak berdaya mendengarnya.
“ itu sebabnya aku menjauhimu. ” Mikael mengatakannya dengan pelan, barangkali ingin aku sungguh-sungguh menyerapi apa yang ku dengar. Aku tidak mampu berpikir disela-sela penghancuran ini. Rupanya, sebagian dari Melodi Tersembunyi tersebut merupakan melodi rusak yang mematahkan segalanya. Begitu menyakitkan.
 
Tak ku tahu betapa kesakitan tersebut tereja dalam tatapan mataku. Bahkan aku dapat membacanya dalam tatapan mata Mikael yang mulai ia alihkan. Kami terperangkap dalam keheningan. Membuat otakku menyiapkan pemutaran ulang tentang kilas perjalanan kami. Lalu tiba-tiba ku bayangkan segala kenangan indah tersebut. Bagai pemutaran film di Bioskop. Rasanya hampir mustahil hari ini bila ku buka memori itu.
Mikael ragu antara menatapku atau membuang pandangannya. Namun tidak denganku. Aku masih terus memandangnya. Dari pertama aku melihatnya hingga detik ini. Mataku tak mampu berpaling sedetikpun. Masih ku simpulakan segalanya tak ada yang berbeda, Meski isi pikirannya tak mampu ku baca. Aku bahkan tidak yakin Ia serius dengan apa yang ia katakan barusan. Namun detik demi detik yang berlalu, dan ia masih tidak mau memandangku. Hal itu menunjukan bahwa Ia sudah tidak ingin melihatku. Betapa menyakitkannya? Aku tidak tahan terjaga didepannya. Merasakan air mataku yang semakin tak terkendali. Ku putuskan pergi.

Aku langsung membalikkan badan sembari membuka payung yang masih ku pegang. Lalu melangkah menjauh. Otakku terus menampilkan pemutaran ulang akan kenangan indah kami, hal-hal konyol, juga perlakuannya yang berada diluar batasku.
Tapi mimpi buruk ini, aku ingin segera terbangun. mataku sudah sakit, air mataku sudah keluar terlalu banyak.
Tapi disinilah kami berada.., dalam drama murahan yang menyakitkan. hingga salah satu ruang dalam otakku menunjukanku kejadian tentang Mikael dan Ayah yang tiba-tiba akur. Sebuah "Kesepakatan" . apa ini ada hubungannya ?
Aku terhenti sejenak, lalu membalikkan badan untuk memeriksa Mikhael yang masih terdiam di tempatnya. aku bisa meihatnya dengan jelas bahwa cowok itu masih memandangku. dan Aku berharap ejaan kata yang ada dimataku dapat aku uraikan dengan kata.

“ Apa ini tentang kesepakatan itu? ” Sekejab saja, pertanyaan tersebut membuatnya memalingkan pandangannya. Sekaligus meyakinkanku bahwa begitulah keadaaanya. Aku memperjelas ingatanku tentang usaha penyemangat yang ia lakukan sebelum hal ini terjadi.
Lalu begitu saja Aku mengerti bahwa beginilah kesepakatan terbaik yang ia ambil untuk kebaikanku. Rupanya inilah kesepakatannya. Bukan bersamaku seperti yang ku pikirkan.


“ semua ini sudah direncanakan."

 
Ku pandang Mikael sekai lagi. dan aku bisa melihat dengan jelas kalau kepedihan itu ia rasakan jua. tapi aku bisa apa. Mikhael sudah menyerah. Aku tidak punya alasan untuk memprotes keputusannya. Ini sudah berakhir. Ini pilihannya. Setidaknya ia tahu kehadiranku disini bentuk betapa ia menggila di pikiranku.
hujan mengguyur semakin deras, dan aku tahu ini saatnya untuk pergi.

Share:

0 komentar