That's happening😔
Aku merasa seperti orang paling dungu di dunia. Aku tahu beberapa hal yang tersembunyi di belakang bahunya, tapi aku hanya tidak tahu bagaimana caranya membuat nya berhenti menoleh ke belakang.
Aku ingin berhenti, tapi toh terlalu cepat, aku sendiri belum pernah dihadapkan pada bayangan seram itu secara langsung.
Aku tidak percaya hari-hari tak karuan itu sudah berganti minggu kemudian beralih bulan, dan kini aku baru menyadari nya dengan lelah bahwa setahun belakangan ini adalah hari-hari paling buruk.
Aku selalu berusaha memperjelas semua ini, tapi alasan nya hanya pekerjaan.
I wonder, Rekan bisnis mana yang rela semalaman membicarakan bisnis, bila keesokan harinya iapuna harus kembali membicarakan bisnis dikantor?
“Mum, Dad dimana?” Adana yang baru tebangun dari tidurnya terheran-heran. Biasanya bila Adana tidur di tempat tidur kami —ketika ia terbangun— orang pertama yang ia cium adalah Adam. Karena ketika itu aku sudah di sibukkan oleh keperluan mereka berdua.
Dulunya Adam lebih suka aku yang masak. Apapun itu. Bagaimana pun rasanya, ia akan memakannya seperti tidak makan berhari-hari.
“ Mum, Adana rindu Dad!” keluhannya menyayat hatiku. Apalagi ketika matanya menatap langit-langit dengan melamun. “rasanya hampir setahun Adana tak bertemu Dad.” Kini ia menatapku. Namun ungkapan yang keluar dengan penderitaan ini, menunjukan betapa jauhnya Adam berlayar menjauhi kami.
Akupun merengkuh wajahnya, lalu menompangkannya dipangkuanku. “Adana tahu kan Dad bekerja keras untuk membeli alat lukis Adana (dia 100% menyukai melukis)"
"Adana hanya ingin mendekap nya, Mum."
Aku menatapnya lagi, dan menyedihkan sekali untuk terus di jadikan tontonan.
"Nanti kita peluk Dad kalau sudah pulang, okay!"
"Memang nya Dad pernah pulang Mum?"
Aku terdiam dan merenung.
"Well, Dia tidur di sampingmu setiap hari! Hanya saja, terkadang kau sudah tidur ketika ia pulang, dan kau masih tertidur, ketika ia berangkat bekerja.”
Ya Tuhan, maaf kan aku. Ini kebohongan kecil yang diperlukan. Setidaknya tidak menyakiti hati jernihnya yang tulus.
Adana duduk tegap.
“ Mum, maukah mum membangunkanku pagi-pagi sekali besok, atau nanti malam kalau Dad sudah pulang? ” aku tersenyum kecil —heran melihat tatapannya yang penuh harapan. “ Aku merindukannya, mum!” lanjutnya sembari menyandarkan kepalanya dipangkuanku kembali.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi dari perutku sendiri.
“ Eh ayo ke dapur, Mum buatkan susu!” Bisikku ke Adana. Iapun mengangguk. Lalu ikut bergerak turun dari tempat tidur. Tapi hanya beberapa langkah, iapun terhenti.
“ Mum, Adana mau mengambil pensil warna dulu, sehabis ini temani Adana menggambar ya..” aku mengangguk, membelai rambutnya sesaat. Adana segera ke ranjang tidurnya, mengambil beberapa mainanya yang disimpan di laci ranjang. Namun tiba-tiba ia menoleh padaku.
“ atau mum buatkan Adana susu sana! jadi ketika Adana mendapatkan pensil warna, Adana tidak perlu menunggu mum lagi. Dengan begitu kita tidak akan saling menunggu.”
Aku segera keluar dari kamar, melewati tangga mewah Mawar yang dilapisi karpet —yang selalu membuat pelayan nya sibuk. Namun tiba-tiba ku dengar suara tawa yang masih asing untukku—Saru-saru. Beberapa detik kemudian sebuah suara. Entah apa yang ia katakan, hanya terdengar samar-samar. Akupun turun dengan cepat melewati beberapa anak tangga yang tersisa —mencari suara tersebut. Namun aku malah dikagetkan oleh hal yang tidak terduga ketika mataku diputar ke setiap sudut; Adam muncul dari ruang lain sembari merangkul seorang wanita. Aku nyaris setengah mati menghadapainya. Lalu berteori —aku sedang bermimpi— tapi tidak. Suara keduanya yang saling memadu kasih dengan penuh kebahagiaan menenggelamkan terori tersebut.
Pada akhirnya ini terjadi,
hal yang berpuluh-puluh kali ku tenggelamkan dalam kepalaku.
“ Apa yang kau lakukan Adam?” Seruanku yang keras membuat tawa keduanya berhenti. Lalu pandanganpun berpindah padaku. Si iblis cantik yang tak tahu menahu itupun mendadak melepaskan rangkulannya dari Adam.
"Kenapa kau tidak memberitahuku kalau istrimu masih dirumahmu?” tatapannya mendadak ganas pada Adam. Membuatnya menolehku sekilas, lalu memandang wanita itu kembali, sembari menyentuh tangannya.
“ jelaskan Adam!” tuntutku dengan penasaran. Membuat Adam kembali menatapku.
“ Dia pacarku.” Pekiknya. Mataku terbuka lebih lebar, otakku masih menimbang-nimbang denging yang masuk melalui lorong telingaku. Namun seketika hatiku tersobek oleh ucapannya. Meski aku tidak mencintainya, namun ia suamiku. Bagaimana bisa aku tidak merasakan kesedihan ketika mendengarnya mengakui wanita lain sebagai pacarnya? Walau besar kemungkinan.. aku telah membagi setengah perasaanku untuknya?
“ Apa yang katakan ini? Aku istirmu!” Kini suaraku otomatis mengecil, pikiranku saling berbenturan.
“ ya, tapi dia pacarku!” matanya memandangku tanpa iba.
Hening menyihir.
Aku dan Adam berpandangan tanpa suara.
“ Kenapa kau melakukan ini padaku?” suaraku serupa bisikan. Benar-benar seperti sebuah kehancuran. Aku hanya tak mengerti kenapa orang-orang melakukan ini padaku. Dari Arka, Nurdin, sampai suamiku, Adam. Mereka dekat denganku. Tapi mereka mencintai orang lain selain diriku.
“Kenapa aku melakukan ini padamu?” tanyanya balik dengan suara keras.
Adam menghempaskan tangan wanita cantik itu. Lalu berjalan mendekatiku.
“ Kenapa kau melakukan ini padaku!” pekiknya. Wajahnya berubah bengis. Matanya melotot. Kemarahan mengusainya. Menyakitkan untuk dilihat.
“ Kau pikir aku tidak tahu kalau kau punya selingkuhan?”
“ selingkuhan?” Aku ternganga. Apa yang ia katakan, semenjak pernikahan kami, aku menyerahkan seluruhnya pada Adam. Fisikku, kegiatanku, mimpi-mimpiku yang terkubur..,
“ Kenapa kau melakukan ini, Arzalea?” nadanya terdengar begitu keras dan kasar. Bahkan Adam lontarkan pas dihadapanku.
“Aku tidak pernah berselingkuh darimu!” Aku menggeleng penuh ketakutan.
“Aha?” Adam mengangguk.
"Kau selalu seperti itu, Arzalea! bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja! Kau menutupi kebohongan dengan wajah lugumu.” Ia mengelus pipiku dengan tatapan menyakitkan, selayaknya sang singa yang siap mencengkeram buruannya.
"Apa hanya itu yang bisa kau lakukan untuk membuat pria menyerahkan hartanya padamu? Huh?” Adam mengakhiri ucapannya dengan bentakan. Mengagetkanku.
Aku memandang wajahnya, berharap dia tidak serius dengan ucapannya. Tapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukan dia mabuk.
“Apa yang kau katakan ini?” suara lirih ku merapat ke telinga nya.
“ Tidakkan itu cukup Lea? aku menikahimu, memberikanmu kebebasan menggunakan hartaku, mengangkatmu dari hutang-hutang Ayahmu. Memberikan seluruh waktu dan perhatian ku.., tidakkah itu cukup Lea?” pertanyaannya bernada keluhan. Terdengar begitu sedih ketika ku tengok diriku yang menikahinya hanya agar keluargaku tak terbelit hutang.
“ Kalau saja ia tidak mengirim buku-buku itu, beserta surat(adam mendengus) surat cinta atau apalah itu."
"Atau tidak memisah keduanya." Ia menatap langit-langit menahan sesuatu.
" Barangkali aku tidak akan pernah tahu siapa kau sebenarnya!”
Gumannya.
Aku menyerapi ucapannya. 0perlu beberapa detik terjebak tanpa pergerakan. Karena aku sendiri tidak tahu pasti maksud ucapan nya.
“Su-surat apa?” bibir ku bergerak ragu. Adam yang masih memandang ku dengan kemarahannya mendadak berjalan ke tangga buru-buru. Entah apa yang ia cari, aku sendiri masih terbelenggu oleh surat dan selingkuhan ? Ah 😟 fitnah apa ini?
Tidak lama kemudian, hentakan langkah kaki terburu-buru mendekat.
“ Bila kau orang yang menghargai keputusan orang lain, seharunya kaupun menghargai keputusanmu!” Adam melemparkan kertas yang dilapisi amplop yang sudah disobek ke wajahku. Kertas itupun terjatuh didekat kakiku. Aku sungguh penasaran oleh kertas tersebut. Tepatnya isinya. Tapi aku tidak sempat memikirkannya. Kekesalan Adam memusatkan seluruh tubuhku tertuju padanya.
“ Ponselmu tidak pernah terjatuh, Lea. Aku yang membantingnya ke aspal, lalu menginjak-nginjaknya dnegan kedua kaki kesalku, lalu aku membuangnya ke sampah.” Kejujuran yang menyakitkan. “Aku sengaja tidak membelikanmu ponsel, karena aku tidak mau kau berhubungan lagi dengannya!" Aku tidak bisa menebak sudah di tingkat mana kemarahannya padaku. Tapi sudah jelas, seharusnya dia tidak bisa menggunakan satu narasumber.
Rasanya ada sesuatu yang mengobrak abrik hatiku.
Beberapa perasaan bercampur menjadi satu, tapi lebih mendominasi takut; Takut bila aku tak mampu mempertahankan rumah tangga ini, Lalu menyisakan kesakitan bagi putriku. Ketakutan yang sama ketika aku belum menikah, lalu memikirkan tentang pernikahan dengan orang yang belum ku kenal sepenuhnya.
“ Aku tidak lagi bisa berpura-pura tidak mengetahui yang terjadi. Aku tidak bisa.” Teriakan nya menyapu wajah ku. Dan entah dari mana air mata itu muncul, aku merasakan pipiku basah ketika pikiranku menampilkan kemungkinan terburuk yang akan merenggut kebahagiaan putri ku.
“ Aku pikir hanya karena kau menghargai kepribadianku, kita akan hidup bahagia dalam pernikahan." Adam mengangkat dagunya ke atas.
"Tapi aku salah.." ia kembali memandang ku.
"kitapun memerlukan cinta." Di eke nya setiap kata dengan jelas.
"Dan sayangnya kau hanya mencintainya, hingga tidak pernah mau membagi apapun denganku.” ia menatapku menahan penyesalan yang memperkeruh matanya.
Ucapan itu menjadi keputusan yang sulit. Akupun tidak dapat menjelaskan apa-apa lagi bila berbicara tentang cinta. Aku tahu dengan jernihnya betapa besar cintaku untuk Arka. Lalu betapa sulitnya membaginya dengan Adam. Tapi aku selalu meyakini barangkali aku hanya perlu waktu yang lebih panjang untuk bisa melakukan itu.
“ Tidakkan kau memikirkannya Lea, Aku bisa mendapatkan 100 kali wanita yang lebih cantik darimu.” Ia terlihat ingin menyerah oleh dirinya. Meski disorot matanya yang tajam, iapun menahan kemarahan yang sangat.
Aku mengerjap, membiarkan air mataku turun. Dan ku pandang lagi matanya. Ku harap ia bisa membaca kebenaran lewat mataku —betapa aku sudah berusaha untuk mencintainya. Tapi pada akhirnya ia malah mengalihkan pandangannya. Seakan tidak mampu melanjutkan kebenaran yang ku ungkapkan lewat mata.
“Tapi aku memilihmu—hanya karna kau menghargai keputusan orang lain."
"Betapa konyolnya!” tawanya meledak.
"Dan kau mempermainkanku!” lanjutnya.
“Aku tidak pernah mempermainkanmu, Adam.” ki eka setiap kata agar ia mendengar baik-baik maksud ku.
Tapi perlahan matanya kembali melihat ke arah ku, dan tawanya berhenti.
“Kau tidak bisa mempercayai satu narasumber sedangkan ada dua orang yang terlibat disana.”
"Tapi ini bukan hanya tentang itu, Arzalea."
"Masalah nya adalah kamu!" Ia berteriak di depanku. Dan mata kami bertemu cukup lama.
"Kau bukan orang yang pantas disini!"
"Karena hanya dia—seseorang yang merasa bahagia—hanya karena menceritakan rahasia nya sajalah, yang akan ku pertahankan."
Rahasia? Ingatan ku di bawa kembali pada malam dimana Adam menanyakan hal semacam itu. Tapi mencintai Arka bukan kah rahasia yang pantas ku kisahkan pada suami ku. Terlebih aku pun berusaha meredam perasaan itu untuknya.
"At least i know who are you?!"
"But..,"
"Kau menutup semuanya dengan misterimu."
"Adam..," suaraku memohon.
"See.. masalah nya adalah kamu." Sekali lagi ia membentak. Dan aku hanya bisa menutup mata ku menahan kesakitan itu.
Aku terdiam, begitu pun dengan nya. Tapi sekonyong-konyong suara isakan menghampiri kesunyian kami. Ku pikir wanita yang Adam bawa, tapi ia hanya mengalihkan pandangan nya ketika mataku sampai matanya.
“ Mum..” suara mungil merenggut sebagian jiwaku. Tubuhku gemetaran. Aku ingin langsung berlari mendekap nya. Tapi Adam menarik tangan Ku. Sedangkan gadis kecil berwajah malaikat itu , pipinya di lumuri air mata ketakutan, tangan nya dengan kuat masih menggenggam pensil warna.
“ Atau jangan-jangan..” Adam kembali bersuara.
"Dia bukan anakku!”
⚡suaranya langsung mematahkan hatiku. Dan tangan ku otomatis melayang ke pipinya.
Adana adalah anak suci yang terlahir dari momen dimana aku melupakan Arka. Yang seluruh tubuh nya di isi oleh perpaduan aku dan Adam.
"Kau bahkan tau kebenaran nya kalau kau adalah orang pertama yang meniduri ku, dan satu-satunya!"
“Siapa yang tahu?” potongannya.
Aku memandang matanya lagi, membuat pertimbangan. Dan kemudian aku mendapati kesimpulan bahwasannya ia tidak akan mempertahanku. Ia bahkan tidak melihat ketulusan yang ku lakukan untuknya. Bagaimana aku terbangun setiap pagi menyiapkan bajunya, merapikan suspendersnya, mengelap sepatunya, menyiapkan sarapannya.. lalu ketika ia pulang.. akupun segera menyambutnya dengan senyum, menjadi pelampiasan kebutuhannya; mengecupnya, mendekapnya, mendengarkan cerita-cerita membosankannya, berusaha menghargai apapun yang ia sukai meski aku tidak menyukainya. Lalu berbulan-bulan sakit perut mengandung benih yang ia tanamkan. Setelahnya pun setiap malam terbangun, menjadi orang asing yang bahkan tidak pernah terbayangkan olehku.
Aku sudah berusaha sekeras mungkin keluar dari Arzalea yang mencintai Arka.
Aku sudah berusaha menjadi seorang istri, untuk menjadi nyonya Fatih.
Namun tetap saja ia tidak bisa melihat itu hanya karena sebuah surat tidak jelas yang isinya bahkan masih belum ku ketahui.
Akupun segera berlari mendekap Adana, air mata nya yang masih bercucuran berusaha ku keringkan dengan jempol ku, tapi menatap matanya saja, air mataku kekuar tidak beraturan. Oleh sebab itu aku menggendong nya. Ia menjayuhkan pensil warna nya, dan isakan nya mulai terdengar pilu.
Aku berjalan ke kamar dengan cepat.
Suara ketakutan nya semakin jelas menyayat hatiku.
Aku sendiri bingung, aku langsung sedih hanya memandang wajah.
Ku hapus air mataku. Lalu mendudukan Adana di tepian tempat tidur.
Aku sendiri berlutut agar wajah kami berhadapan. Ia memusat kan mata nya ke arah ku dengan tarikan nafas yang tidak karuan.
Aku panik, ia tidak pernah menangis seperti itu sebelumnya.
“ Hei, dengarkan Mum, dengarkan Mum..” aku merenghuh wajah nya. Aku nyaris kembali mengeluarkan air mata ketika menatap mata malaikat mungilku yang masih menangis tersedat-sedat.
"Kau akan baik-baik saja! Okay?"
"Mum janji!” aku berusaha menangkannya, meski akupun sulit menenangkan diriku sendiri.
Adana mengangguk, dan hanya itu yang bisa ia lakukan.
“ Hmm, untuk beberapa waktu, kita akan tinggal dirumah nenek. Aku menelponnya tadi, katanya dia merindukanmu. Jadi kita harus kesana, agar tidak mengecewakannya. Tapi Mum janji.. Mum akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia. Membacakan dongeng, menemanimu menggambar.. eh tapi tunggu.. Om Vaad pasti punya banyak waktu untukmu.. Lalu kita akan ke taman anak-anak setiap sore mendengarkan Om Vaad berceria bersama yang lainnya. Lalu setiap hari sabtu dan minggu kita akan memilah-milah buku diperpustakan.” Aku hanya membicarakan apa yang ada dikepalaku, meski ucapan berserakan dimana-mana.
Aku hanya ingin dia berhenti menangis, karena pandangan pilu nya mendorong pertahanan ku berulang-ulang.
Dan tiba-tiba ia mendekap ku. Uh 😭😭😭 air mataku berjatuhan kembali dengan deras, dan aku mempererat tangan ku ke punggungnya lebih erat.
Kastil di atas bukit itu runtuh perlahan.
Itu bukan sesuatu yang ingin ku lihat. Bahkan bila bisa, aku ingin tetap bertahan di tempat itu.
Tapi tempat itulah yang runtuh, bagaimana bisa aku bertahan di dalam nya?
Tags:
Tertanda
0 komentar