I'll find comfort in my pain eraser
Aku melototi setiap kata pada surat yang masih ada di genggaman tangan ku.
Semuanya unpredictable.
Tapi aku takut memperjelas setiap kata yang sudah bisa ku tebak, hanya karena aku takut salah paham.
Kaki ku bergerak keluar, lebih cepat dari biasanya, bahkan terburu-buru. Nafasku memburu, dan akhirnya berhenti di depan pintu rumah Arka.
Seperti gadis kecil beberapa tahun lalu yang hanya tahu "bersamanya bahagia" bukan cinta, sayang atau suka.
Tapi kali ini rasanya berbeda.
Semua memori kami yang tersimpan rapi dalam ingatan ku naik ke atas, dan berputar-putar.
Gadis bodoh? Arka hanya mencintai gadis itu. Tapi ia menyesal melepaskan ku berkali-kali. Bahkan ia ingin mengucapkan sesuatu yang ku tunggu.
Aku menatap pintu coklat itu, dan bertanya-tanya.
Apakah ada kemungkinan disana bahwa aku gadis bodoh nya?
Sreek, pintu terbuka.
"Arka..," tiba-tiba aku gemetaran.
"Arzalea..," dan ternyata tante Diana di depan ku.
“Aku ingin bertemu Arka.” suaraku terdengar buru-buru.
Tante Diana memandangku heran. Hah, menunggu bibirnya bergerak saja, rasanya kakiku ingin berlari menyelinap masuk.
"Dia masih di Surabaya, Lea.”
Ugh😩😩😩
Arka..,😭😭😭
Aku sudah putus asa, tapi tiba-tiba otakku yang bergemuruh mengeluarkan pendapatnya.
"Kalau begitu telpon dia.”
Tangan ku bergerak menggenggam lengan tante Diana—memohon.
Bibirnya melebar tersenyum. Tapi bingung. Kemudian di belai nya rambut.
"Tenangkan dirimu Lea, katakan pada tante, Ada apa?"
“Aku perlu berbicara padanya!”
"Ayolah tante.."
"Iya..," ia mengelus rambut ku lagi, seakan berusaha mendiamkan anak 5 tahun yang ingin ice cream.
“Tante akan menelponkannya untukmu!”
Tangannya bergerak merogoh ponsel di tas nya. Lalu iapun memainkan jarinya diatas layar. Hanya beberapa detik, sebelum tante Diana sempat mengklik nomer Arka, ponselnya malah berbunyi.
Kulihat Milla P memanggil.
“Setelah telpon ini ya? tante janji hanya sebentar.., hanya sebentar kok.”
Aku mengangguk dengan terpaksa.
“ iya, iya mbak. Kebaya putihnya saya minta 13. Tapi baru 12.. ” entah apa yang mereka bicarakan.
“Iya.. yang ukurannya dikira-kira itu!” lanjutnya.
“oh gitu.. iya deh nanti saya ajak dia kesana biar dicoba. tapi agak mendekati hari H tidak apa-apa ya? Soalnya anaknya sibuk mengurus anaknya yang masih kecil.” Sekali lagi kalimat yang tak ku mengerti
“Iya.. terimakasih.” Akhirnya aku akan segera berbicara pada Arka.
“Kau ada waktukan?”
Aku tidak terlalu menanggapi pertanyaan nya, tapi ku lihat ia menyelipkan ponsel nya ke tas nya lagi.
“Kebaya mu sudah selesai, ayo kita coba! Nanti takutnya kekecilan atau kebesaran!” lanjutnya.
“Kebaya?" Aku tidak pernah memesan kebaya pada siapapun.
“Iya, Kebaya yang akan kita pakai untuk pernikahan Arka!”
💣💣💣
Boom mendadak meledakkan harapanku.
Tubuhku terasa lemah.
Nafas ku lenyap entah kemana. Sesak sekali.
Aku tidak salah dengar kan?
Aku nyaris mati hanya mendengar kata itu. Seluruh sistim pergerakan tubuhku sekarat. Angin seakan berebutan menyerangku, lalu Monterey ku jauh ke antah berantah.
Aku tiba-tiba kehilangan arah. Tujuan berhamburan dalam kepalaku.
“Arka pasti sudah memberitahumu kan?!"
Bibirku terangkat tapi tidak bersuara. Aku mengerjapkan mataku, dan menatap ke langit. Sial sekali, cuaca mendung ini mulai meneteskan bawaannya.
"Atau belum?" Tante Diana kembali bersuara.
"Dia bilang, dia sendiri yang akan memberitahumu?” tiba-tiba suaranya pelan.
Pandangan ku turun ke tanah, dan berusaha berpikir lebih jernih.
"Mmm-mungkun dia lupa!" Aku membalikan badan, dan aku tidak ingat apapun.
Aku hanya tetap berjalan dna berjalan. Karena hanya itu yang ku tahu.
Aku melihat warna hijau rumput itu, saat dimana mereka bergerak dengan ilusi. Dan membuka kenyataan di samping nya bahwa angin yang melakukan itu.
Inilah hal yang ku takutkan, Ouh aku memandang penakut. Aku takut banyak hal. Ini bukan lah satu-satunya.
Takdir sialan ini mendampingi ku dalam setiap pijakan yang ku atur.
Aku mencintainya.
Tapi dia bukan orang yang di ciptakan untuk mencintaimu.
Aku bisa berkata, itu takdir.
Aku terus melangkah, tapi entah dimana ini, aku tidak ingat.
Arzalea..,
Arzalea..,
Itu suara Arka.
Aku bisa melihat nya berdiri tegap di kerumunan.
Tapi setiap kali kaki ku maju selangkah, keadaan berbeda.
bayangnnya memudar.
Suaranya hilang.
Lalu aku terjebak dalam kehidupan hampa yang seluruhnya hanya diriku.
Aku berbalik, mengarahkan tubuhku menuju tempat yang seharusnya. Segalanya nampak nyata, kecuali apa yang ku tahu, apa yang membuatku merasakan sesuatu yang tak pernah ku rasakan.
Air mata menguasaiku, memutar-mutarkan pikiranku, mengeluh daa berusaha memberontak —meminta keadilan.
Kenapa harus aku?
kenapa harus Arzalea ini?
Tidak adakah Arzalea lainnya yang bisa menjalani skenario kehidupan ini tanpa keluhan sepertiku?
Karna Aku tidak bisa.
Aku hanya orang dungu yang mengharapkan takdir akan berbelok mengikuti keinginanku.
Tiba-tiba saja aku diingatkan oleh seorang gadis kecil berwajah malaikat.
Secara ajaib aku langsung menemukan semuanya.
Terutama jalan keluar yang ku perdebatkan dari tadi.
Malaikat kecil itu tersenyum manja, dan meraih tangan ku.
Lalu iapun menyeret kegundahanku. Membuatku beranjak dari tempatku secepat mungkin, untuk mendekapnya yang masih tertidur pulas.
Tags:
Tertanda
0 komentar