Secret Feelings
Dan sampaialah aku pada ujung pemberhentian yang mengharuskan ku menendang Arka.
Semua orang menunggu hari ini. Begitu pun dengan ku, dulunya. Tapi ketika aku sudah sampai, dan semuanya bukan seperti seharusnya, aku merasa ingin berubah pikiran.
Aku masih duduk didepan cermin kamarku yang sudah dihiasi bunga-bunga cantik disetiap sudutnya. Tidak banyak yang berubah disini, termasuk foto-fotoku bersama Arka. Aku tak ingin merubah kenangan itu. Sekalipun kini ragaku akan menjadi milik orang lain, setidaknya kenangan kami tetap hidup dalam salah satu tempat nyata sebagai bukti bahwa kami ada.
Sesekali kupandangi foto-foto itu kembali, Lalu memandang diriku dicermin dengan polesan make up tebal; ugh itu bukan aku. Gadis beralis tebal itu, bibir merahnya yang jelas jelas menggoda, Pipi merah merona.. Seharusnya keindahan make up yang menjadikan wanita semakin cantik itu mampu membuat wajah muramku bahagia. Tapi tidak. Setiap kali ketika ku tatap diriku, aku ingin menangis.
Aku tahu kebenaranya bahwa gadis itu tengah sedih.
Kau bisa melakukannya.. Kau bisa melakukannya..
Beberapa ucapan berkecamuk dalam benakku. Ketika ku pandangi cermin yang menunjukan wajah cantik seorang wanita muda, yang mengurai rambut pendek dihari pernikahannya.
Mata itu menunjukan ketidakyakinan sama sekali, Binar-binar penyesalan sudah mulai berkumpul dalam matanya. Tapi ia harus menahannya beberapa waktu lagi, setelah ijab kabul selesai.
Ia harus menahannya.. agar tidak merusak make up, lalu membuatnya kesal memperindah wajahnya lagi. Bagaimanapun bermake up untuk acara pernikahan melelahkan. Terlalu banyak yang harus dipolesi.
Tapi dibalik semua itu, wanita muda itu tidakk suka membuat kecewa orang lain. Bahkan ketika orang-orang tertawa bahagia untuk hari paling menyedihkan dalam hidupnya.
Ini yang sudah ia putuskan.
Apapun itu, ia harus bisa menangani dirinya!
“ Lihat pengantin cantik ini..” Tiba-tiba suara membangunkan lamunanku. Membuat mataku menuju pintu kamar yang dibuka sedikit.
Vim hanya menampakkan setengah wajahnya yang terlihat tak bertenaga. Entah kenapa setelah bibirku melebar, ia memutuskan berjalan ke arahku, memandangku lewat cermin dengan pandangan pilu.
“ Kau tidak terlihat seperti pengantin lainnya!" Aku melebarkan bibir dengan takut. "Kebanyakan gugup bahagia, bukan gugup sedih!" Lanjutnya.
“ oh well hanya ada satu pengantin disini!.” aku menaikan alis diriku. Dan lelucon ku di tolak mentah mentah.
“ hmm aku tidak suka diri mu saat ini, bahkan aku tahu, kau sendiri pun tak menyukainya."
Aku terdiam, dan suasana mendadak tersihir senyap.
"Aku ingat ketika kita masih di SMA, saat paling sedih saat itu adalah keberadaan Arka yang sama tapi menjadi orang lain"
Aku memandangnya lewat kaca.
"Dan melihat matamu sekarang, aku teringat dirimu ketika itu."
Akupun mengalihkan pandanganku ke bawah. Dan lagi lagi semua hal tentang Arka kini menjadi umpan paling ampuh untuk menarik air mataku.
Sekonyong-konyong Vim mendekapku. Di Dekat kan nya pipinya hingga menyentuh pipiku.
"Katakan padaku.. sebelum pada akhirnya kau menyesal.” Bisiknya. Daguku terangkat, dan pikiranku melayang jauh ke puluhan tahun ke depan ketika aku dan Arka sudah memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar.
Dan aku melihat Adam di sampingku.
Setidaknya aku masih bisa bersama Arka, meski hanya teman.
Dan bila aku menunggu Arka sejauh itu, pada kemungkinan yang mungkin menjerumuskan ku pada kesendirian kosong, yang menatap jauh kebahagiaan Arka bersama orang lain.
"Aku lelah menunggu, Vim.”
Kepalanya bergerak, dan memperhatikan gerak gerikku dari cermin.
“ Ada seseorang yang begitu baik yang ingin menikahiku.. kenapa aku harus menolaknya? Lagipula saudagar kaya idiot mana yang mau menikahiku?”
Vim berusaha tersenyum mendengar ucapanku.
"Akad nikahnya akan dimulai, sayang.” Suara teriakan mulai terdengar. Membuat Vim kembali tegak. Sepertinya ia paham aku tak ingin terlihat sedih dimata Mum.
"Ayo.. ” ajak Vim membuatku berdiri. Lalu akupun berjalan mendekati pintu kamarku yang mulai menampakan kehadiran Mum.
Mum buru-buru menghampiriku yang sudah Vim gandeng. Setelah itu, Mum menggandeng tangan kananku. Lalu kami pun berjalan. Namun entah apa yang tejadi.. setelah didepan pintu. Mum menghantikan langkahnya, lalu memandangku cemas.
“ Apa kau yakin ingin menikahinya?” tanya Mum ragu-ragu. Aku memandang matanya sekali lagi, dan aku sudah bisa melihat betapa kacau nya perasaannya.
"Katakan saja Tidak, maka semuanya pun akan berjalan seperti seharusnya!" Mum mempelan suaranya, untuk mengangkat ku keluar dari lamunan.
Aku tersenyum dan Arka seperti berdiri di sudut dengan kedua tangan yang mengepak. Aku melebarkan bibir, dan menggengam kalung pemberiannya.
“Seseorang akan mengambil bunga mekar itu, Mum.” suara tenang yang terucap dari mulut ku bahkan mengagetkan diriku sendiri. Jawabku yang tak dapat membuat kegelisahan Mum memudar.
Mum kembali menggandeng tangan kananku. Menemaniku melangkah menuruni tangga.
Berangsur-angsur mataku disuguhkan oleh pemandangan bahagia dari orang-orang yang sudah menantiku. Semua mata tertuju padaku, seakan dengan detail memperhatikan apapun yang menempel pada tubuhku. Termasuk Adam yang kini mengenakan kemeja putih. Ia tak terlihat seperti penyuka gaya jadul sama sekali.
“ Kau yakin akan menikahi pria itu?” bisik Vim.
"menurut Ibuku dia ganteng..” bisikku balik.
"aku bisa melihatnya.” Gumamnya. “ tapi itu bukan alasan yang tepat untuk menikahi seseorang.” lanjutnya. Aku pun tahu semua itu. Hanya saja, dalam posisi ini aku tidak di beri pilihan untuk menikahi orang yang ku cintai.
Lalu kamipun turun dengan cepat, mendekati Adam.
Aku mulai mengatur posisi duduk di samping Adam, dan penghulu siap menikahkan kami.
“ Adam Fatih.. Saya nikahkan.. ” Adam Fatih?
Aku tidak akan menikahi Arka?
Pergerakan tubuhku membeku. Arka.. Arka.. dan Arka. Pikiranku malah mengulang-ngulang namanya. Lalu ku genggam saja bandul kalung pemberiannya dengan tangan kananku.. dan menutup mata. Anginnya, hal itu memudarkan suara-suara disekelilingku.
Yang ku lihat hanya malaikat tak bersayap yang menggengam tangan ku di antara awan awan.
Kami terbang, dan sekali lagi imajinasi itu membuat sesuatu yang tak logis dan memupuk harapan.
"sayang.. ” tiba-tiba ku dengar suara itu, sembari sentuhan tangan yang menyentuh tanganku yang masih memegangi bantul kalung Arka.
Ku buka mataku.. lalu ku pandang sekelilingku yang dipenuhi raut kebahagiaan. Si penghulu tengah membacakan doa. Membuat sekelilingku mengangkat tangan mengaminkannya.
Perantara ucapan yang mengesahkan kami menjadi suami istirpun terucap begitu cepat. Bahkan aku tak sempat menyaksikannya. Entah sedang dimana pikiranku kala itu. Setelah aku menyadarinya.. tiba-tiba saja.. Aku sudah menjadi istri Adam.
Sesekali ku sentuh kalung pemberian Arka, lalu merasakan kehadiaran Arka disampingku. Ia seperti obat tersendiri dalam kesunyian ini. Dalam keramaian yang membuat hatiku masih sunyi.
Semua orang mulai saling bercakap-cakap. Mum dan Mawarpun mulai akrab. Sedangkan Adam mulai dekat dengan Ridwan dan Lily. Vaad dan Virgi tengah sibuk memilih makanan yang disajikan. Vim yang membawa kekasihnyapun tengah sibuk mengobrol dengan kenalan baru. Entah siapa lagi orang-orang yang menghiasai rumahku saat ini. Kebanyakan aku tak mengenal mereka. Dan itu membosankan.
Akupun berjalan ke dapur.. terduduk memandangi kolam renang dari balik dinding kaca. Aku merindukan orang-orang yang saat ini ku harap ada disini.. Ayah dan Arka. Bagaimana mungkin mereka tak ada dalam hari bahagiaku?
Bagaimana jahatnya kematian merenggut nya, dan jarak yang tiba tiba membelokkan jalan
"Kak..” Vaad menggoyahkan lamunanku. Lalu akupun menoleh. Ia membawa bingkisan kado berwarna merah, dengan hiasan pita diatasnya. Aku yakin Virgi yang membantunya mengemas.
"Terima kasih.” Kataku sembari mendekapnya sesaat.
"Bukalah..” perintahnya. Aku memandangnya sesaat. Lalu memutuskan membukanya..,
Dan terungkaplah isi kado tersebut. Sebuah buku dengan bentuk segi panjang. Buku itu benar-benar terlihat istimewa. Bagaimana tidak, sampulnya terbuat dari bahan yang tebal, tepiannya kaku, sedangkan isian tengahnya empuk.
Aku penasaran dalamnya. Lalu akupun berniat membuka. Namun Vaad menghalangiku.
Sebelumnya" aku mau minta maaf, Kak.”
“ ku maafkan.” Tungkasku. Vaad tertawa.
tanganku bergerak membuka lembar pertama buku yang Vaad berikan; Terlihat seorang laki-laki yang mirip Arka dengan sayap besar penuh bulu, menampakkan wajahnya dengan garang —mimik ganas Arka. Namun ketika melihat tulisan dibawahnya sebagai Malaikat Pelindung, wajah menakutkan itupun berubah lebih kalem.
Pada lembar selanjurnya, terlihat seorang anak laki-laki dan perempuan yang tengah bersalaman. Dengan tulisan rapi dibawahnya yang berbunyi “Mereka bertemu disebuah tempat, saat keduanya sama-sama memerlukan seseorang.” Aku mengenal tulisan tegak berangkai itu dengan baik —tulisan mum.
“ Ku pikir kakak akan menikah dengan Abang Arka, jadi aku membuat itu sejak beberapa bulan lalu ketika abang Arka masih disini. Dia bilang.. Dia ingin menjadi Malaikat Pelindung untuk mimpimu. Karna ketika itu, ketika Ayah meninggal kau seperti orang linglung.” Meski aku melebarkan bibirku. Aku tak mampu menghapus kesedihan yang ku rasakan. “Lalu untuk mewujudkannya, ku ambil beberapa fotonya dikamarmu.. meminta mum membuatkan cerita, lalu melukisnya sebagai Malaikat Pelindung.” Jelas Vaad. Pikirankupun kembali pada Arka. Membuatku penasaran oleh cerita yang Vaad lukiskan tentang aku dan Arka.
Ku buka kembali lukisan lainnya. Terdapat seorang anak perempuan dan laki-laki yang sama, tengah tertawa lebar menikmati kereta rollercoaster yang melaju —hanya membawa dua penumpang. “ Mereka menghabiskan waktu bersama disebuah kehidupan yang berada pada alur tanjakan, datar, dan menurun.” Aku bisa melihat kalau laki-laki itu Vaad lukiskan sebagai Arka. Sudah jelas dari lesung pipitnya.
“ Mereka tumbuh bersama.” Judul tulisan itu ditujukan untuk lukisan yang memperlihatkan seorang laki-laki dan perempuan dengan postur yang lebih tinggi. Mereka bergandengan tangan dengan senyum yang merekah.
“ Mereka saling bersandar ketika dunia gelap gulita ditengah hari.” Keduanya saling menyandarkan kepala. Si gadis bersandar dipundak laki-laki, dan si laki-laki menyandarkan kepalanya diatas kepala si gadis.
“ atau ketika malam pekat tanpa bulan.” Si malaikat pelindung tengah mengelus pipi si gadis yang dialiri air mata dengan deras.
“ tapi seperti pada pertemuan lainnya.. keduanya pun harus berpisah.” Mereka menahan wajah muram. Meski saling menampakkan senyum manis.
Pada lukisan selanjutnya, nampak si gadis mengusap air matanya sendiri dengan lengan kanannya. Dan si laki-laki membelakanginya sembari membawa tumpukan buku.
“ kehidupan mereka berjalan hampa tanpa salah satunya.” Lukisan kali ini benar-benar menunjukan aku dan Arka. Keduanya bersebelahan, terpisah garis pembatas dengan pemandangan sekitar yang jauh berbeda. Si gadis berada di atas atap rumah, ditemani hijaunya pepohonan yang mengelilingnya. Sedangkan si laki-laki berdiri dipusat kota, yang dibelakangnya dipenuhi oleh bangunan tinggi.
“ Tapi siapa yang tahu kemana takdir akan membawa mereka? —Takdir tak terhingga.” Akhirnya Vaad melukis mereka kembali bersama. Si gadis dengan penuh syukur sembari menutup mata, menyandarkan kepalanya dalam dekapan malaikat pelindung tanpa sayap itu.
“ Merekapun bersepakat tak akan saling menjauh. Lalu memulainya lewat ikatan pernikahan, untuk berbahagia selama-lama-lamanmya.” Kedua senyum saling berhadapan itu sudah menunjukan betapa bahagianya mereka. Bukan karna gaun mekarnya yang indah, rambutnya yang digelung, atau bunga-bunga elok yang tertata pada setiap meja yang dirangkai didekat keduanya, ditaman ladang rumput. Tapi tatapan bahagia gadis itu suci tercipta ketika menatap si malaikat pelindungnya —yang mengikatnya dalam awal mula menuju bahagia selama-lama-lamanya.
“ Ini sangat indah!” tanpa terasa air mata mulai mengaburkan pandanganku. Membuatku menutup mata, lalu menampakkan tentang Arka. Lukisan-lukisan tadi mirip dengan wajah kami. Namun sayangnya cerita hidup kami tak semanis itu. “ Kau harus menunjukannya pada Abang Arka nanti.” Lanjutku sembari mendekap Vaad.
“ Aku menyisakan banyak lembaran kosong dibelakang! bila kau mau.. aku akan melukismu bersama suamimu!” bisiknya. Lalu akupun menarik diri dengan cepat.
“ tidak.. tidak.. Aku sangat menyukai ini. Kau harus menyimpannya untuk Arka. Dia memang seorang Malaikat Pelindung.” Menurutku Adam tak perlu tahu. Biarkan lukisan itu menjadi harapanku yang patah. Biarkan aku dan Arka tetap hidup dalam kenangan kami, dalam mimpi-mimpi indah masa depan kami, dalam setiap lembaran lukisan yang diciptakan oleh warna-warna yang sudah dipilihkan Vaad. Biarkan aku dan Arka tetap hidup.
“ pada lembar kosongnya kau bisa menambahkan seorang bayi mungil.” Itu salah satu mimpi kami, meski ketika itu aku yakin Arka hanya berkelakar.
“ itu ide yang bagus.” Kata Vaad.
“ Aku akan menyimpan ini di laci kamarku.. jadi.. berjanjilah akan melindungi kamarku dari dekorasi ataupun semacamnya. Aku tak ingin kenangan kita menghilang.” Pintaku. Vaad tersenyum sembari mengangguk.
0 komentar