c | Adjustment period | Journey To Northen Light

Adjustment period

Aku mulai menjadi orang asing.., bahkan untuk diriku sendiri.

Adam memboyong ku kerumah besar nya. Sayang sekali mereka tidak punya siapapun selain satu sama lain. Jadi rumah besar itu pun lebih terlihat tak berguna dari pada seharusnya.
Selain mereka hanya ada 4 asisten rumah tangga.
Tapi konyol nya, si Mawar memberi ku tanggung jawab di dapur. So, bisa di bilang apapun yang terjadi di dapur adalah perbuatan ku.
Setiap pagi buta seperti ada alarm di tubuh ku yang menarik ku bangun. Lalu aku menyiapkan segala kebutuhan Adam, seperti baju yang akan ia pakai, sepatunya, bahkan kebiasaan nya meminum kopi. Aku menemani nya mengobrol hingga ia berangkat. Kemudian aku diharuskan ke pasar oleh Mawar, dan memasak untuk makan siang.

Aku tidak pernah melakukan semua ini sebelumnya, terutama pergi ke pasar tradisional yang bisa tawar menawar. Aku masih tidak mengerti mengapa mawar memintaku ke pasar traditional. Tapi itu adalah keharusan untukku. Ia akan memarahi ku habis habisan bila aku membeli di super market. Sama seperti hari pertama ku.

Adam mengecup kening ku dan aku melepaskan jas nya. Aku menggantung jas nya dan kemudian merebahkan badan ku di kasur.

"Kau lupa melepaskan sepatu ku!" Suaranya didampingi tawa.

"Aku capek!" Keluhku mengabaikannya.

"Pasti masalah ibu lagi?!" Yeah karena Adam selalu menuntut ku menceritakan hariku dengan detail, aku pun menceritakan semuanya padanya.

Adam baru selesai mencuci tangan, lalu duduk di sampingku.
"Ceritakan padaku!" Ujarnya.
Aku langsung duduk dan menghadap padanya.

“Ibumu bilang harga ayam sekilonya 40, dihari pertama aku ke pasar aku mendapatkan harga 70.. dan hari ini untuk kesekian kalinya.. aku mendapatkan harga 55.. terlebih penjualnya bilang, harganya naik.”  aku menyerocos, dan ia malah tertawa menatapku. Lalu di cium nya pipi kananku sebentar.

"Aku tak pandai merayu orang! Bagaimanapun suamiku pengusaha kaya. bagaimana mungkin aku beradu mulut dengan penjual yang untungnya tak seberapa?”

“ Bilang saja pada Ibu kau membelinya 40. ” kata Adam setengah tertawa. Dipikirnya aku tengah membuat lelucon.

“ tapi aku membelinya 45. Penjualnya pun tak mau mengalah.”

“ kalau begitu berikan dia 100 ribu, lalu buat kesepakatan untuk harga ayamnya 40 ribu.” sarannya. Aku mengangguk seperti orang babal. Lalu akupun teringat bahwa hal itupun begitu merugikannya.

“ Berarti harga Ayamnya 140 ribu?” Aku terkekeh sembari menoleh ke Adam. Adampun tertawa konyol. Lalu diakhiri oleh bibirnya yang menempel ke bibirku. Ciuman itu terjadi begitu singkat. Seakan sesuatu menarik kepalanya menjauh dariku.

"Barangkali Ibu hanya teringat masa sulitnya dulu, sebelum ia hidup senyaman ini. Lalu memikirkan masa depannya, agar tak sesulit masa sulitnya.” Ceritanya.

"Ya.. aku mengerti! Ayahkupun sempat berpikir demikian, tapi akhirnya ia malah meninggalkan hutang segunung untukku. ” Adam tersenyum bingung.
“ Menurutku masa depan itu hadiah.., aku tak bermaksud menyia-nyiakan waktuku saat ini, tapi kau tak tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari. Kemana tanganmu akan membuat kesepakatan akan berlanjutnya hidupmu, bahkan tanpa ketidaksadaran untuk memilihnya. Seharusnya kau mengambil keputusan dalam hidupmu, untuk bahagia. Seperti tanpa menghitung hari-hari yang terlewat atau yang akan datang ketika kau berharap.”

"hiduplah untuk detik ini, jangan ada perangsangka buruk lagi.” Kesimpulan merekahkan senyum Adam.
"Aku ingin hidup seperti itu.” Lanjutku penuh permohonan.
Dan malaikat pelindung ku kembali menampilkan dirinya dalam pikiran ku.
Arka.. Arka.. dan Arka. Bahkan ketika mata Adam menatapku , namanya masih belum bisa sedikit pun tersamarkan.

Aku buru-buru mencium bibir Adam dengan ganas. Hal itu ku lakukan untuk memudarkan bayangan Arka. Itulah respon otomatisku setiap kali aku disamping Adam dengan memikirkan Arka. Dan ketika aku dan Adam terhanyut dalam kecupan kami, Terkadang rasanya Arka memukul-mukul dadaku dengan kalung pemberiannya. Begitu menyesakkan.

Tubuhku seutuhnya milik Adam. Bagaimana mungkin lagi perasaanku milik Arka? Itu tidak akan adil untuknya. Sama sekali.

Dan aku lupa sudah berapa lama aku di posisi ini, rasanya hanya.. aku baru memutuskan semuanya kemarin, aku sempat berpikir kehidupan ku akan lebih sudah bersama Adam, mungkin di beberapa sisi memang benar. Tapi pada sebagian sisinya lagi.., aku hanya harus menjalaninya, maka aku pun akan lupa sudah berapa lama.

Aku hamil.
Aku bahkan masih belum bisa percaya.
Tentu saja Adam bahagia, dia menjadi super protective, dan satu hal yang ku suka darinya, dia selalu bisa di andal kan pada setiap ucapannya.

Mawar sempat menahan kami , ketika aku dan Adam sudah berkemas. Tapi karena Adam sudah berjanji, ia pun tetap akan mengantarku ke rumah Mum.

“ Maaf kamarku tidak seluas kamarmu.” Ujarku sembari melepaskan cardigan yang ku kenakan. Adam hanya menoleh sekilas. Lalu kembali memandangi foto-fotoku bersama keluargaku. Tapi kebanyakan matanya tercengang ketika menatap fotoku bersama Arka.

"Apa kau serius hanya berteman dengannya?” Tiba-tiba ia sudah berada di samping tempat tidurku. Lalu menunjukan fotoku bersama Arka yang ku bingkai di frame kecil yang ku taruh didepan lampu duduk.
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Lalu mengabaikan koper yang baru ku buka untuk melangkah mendekatinya.

"Kenapa kau berpikir demikian?” tanyaku sembari melingkarkan kedua tanganku dilehernya.

"Aku hanya tidak mengerti, bagaimana bisa seorang perempuan dan laki-laki berteman?” aku  terdiam. Aku pun tak mengerti apa aku dan Arka bisa di sebut berteman? Sedangkan aku selalu ingin kebahagiaan nya.

"Dia bahkan tak hadir dalam pernikahan kita?!” matanya menatap ku, tapi pikirannya jauh melayang merenungkan apa yang ia tangkap.

“ Tapi aku memutus kan menikah dengan mu?!” tegas ku.
"Apa semua itu tidak cukup?"

Adam melebarkan bibir nya.
"Cukup untuk saat ini!"

"Dan kau mesti memilih menikah dengan nya bila mencintai nya!"

Percakapan kami berakhir di situ, dan aku melihat semuanya tampak normal.
Kebiasaan yang sama menjadi istri Adam masih berlaku disini. Hanya saja aku merasa lebih baik karena tidak akan ada yang memarahi ku untuk masalah masalah kecil.
Apalagi memaksanya untuk beberapa hal.
Beberapa kali aku meminta Adam untuk menginap di rumah ibunya, tapi karena istrinya tidak tinggal disana ia pun lebih memilih pulang ke rumah Mum untuk bisa menghabiskan waktu bersamaku.

Pukul 11.35 dan di rumah tidak ada siapa pun. Biasanya Adam pulang di waktu siang, hanya untuk makan bersama ku. Entahlah.., ku pikir tak akan lama lagi aku akan menggantikan Arka seluruhnya di hatiku.
Dia tahu betul bagaimana memperlakukan perempuan.

Aku melakukan segala hal untuk menghibur diri, terkadang hanya duduk memperhatikan Vaad dan Virgi bila mereka melukis di rumah.
Dan ketika mereka pergi, aku kembali sendiri.

Hamil adalah fasa kehidupan seperti membuka buku baru. Tidak ada panduan dari buku lama. Lalu mengubahmu menjadi orang asing yang seasing-asingnya, melampau siapa dirimu. Rasanya aneh. Barangkali seaneh mimpi-mimpi Arka. Atau bahkan lebih aneh dari itu.

“ Aku bersumpah.. aku tak pernah merasakan perasaan yang sedemikian rumitnya. ” ceritaku pada Arka. Iapun tertawa konyol.
Meski aku tak dapat melihat mimiknya, aku bisa membacanya lewat suaranya yang mengalun membentuk tawa dengan berbagai melodi. Nyaris seperti tuts piano yang dipisit oleh ahlinya.

“kalau begitu, gambarkan bagaimana? Barangkali aku bisa membantumu..” responnya. Tapi sisa-sisa tawanya masih tertangkap gendang telingaku.

"Entahlah.. hanya aneh! Kau bertanggng jawab penuh atas kehidupan seseorang. Seakan apapun yang terjadi padamu, iapun merasakannya.”

"Tidak ada yang aneh. Akupun merasakan demikian ketika sesuatu terjadi padamu. Seakan-akan aku bagian darimu..” suara berirama itupun melantur-lanturkan pikiranku pada harapan yang sudah ku kubur dalam pemakaman hening tak berwujud. Kini aku menggalinya seperti orang tak waras. Lalu tiba-tiba siuman setelah mendapatkan salah satu kata  —ucapannya hanya bagian dari unsur jenaka.

" Arka... aku serius!!!” suaraku menunggi. Tapi bahagia hanya karena mendengar suaranya.
Lalu menatap foto Arka dan aku yang tengah berdampingan.l memakai baju sekolah. Kanu terlihat begitu bahagia disana.
Seharusnya foto itu didepan lampu duduk. Tapi Adam memidahkannya ke laci, lalu digantikan oleh foto pengantin kami.

“Akupun sama seriusnya denganmu..” pekiknya.
“Iyaa, yang bisa saya bantu?” tiba-tiba suara lembut itu terdengar menjauh dari telpon. “ Tiba-tiba senyap. Barangkali Arka tengah menerima pasien?
Aku menunggu beberapa menit, pikiranku melayang-layang masih menunggu suara Arka.

“Hei.. sayang! Sampai dimana tadi..” Dan akhirnya..
“Apa yang terjadi?”
“Seorang nenek datang menggendong cucunya untuk berobat.” Ceritanya.
Arka ditempatkan disalah satu pelosok pantai yang menurutnya begitu indah. Nyaris setiap sore ia menelpon lalu mengatakan.. “ Lihat jingganya senja kala itu.. ku harap kau disini.”

“Ku harap.” Itulah yang selalu ku katakan.

“Ku harap kau disini, atau aku di sana. Atau dimanapun.., asalkan kita bersama.” suaranya menelusuri gendang telingaku.
Kata yang sama, nada yang sama.
Aku nyaris hafal bagaimana nafasnya naik turun menahan sesuatu ketika ia mengatakan kalimat itu.

Aku amnesia ketika mendengar kalimat kalimat itu. Nada-nadanya yang merdu membuatku melayang, Seakan aku masih gadis yang sama dan menunggunya kembali.

Bahkan aku nyaris tak merasakan gundukan yang sudah membuat perutku bengkak berminggu-minggu.

“Jangan khawatir, Ar. Kurang dari 17 bulan lagi!” Tiba-tiba aku gemetaran. Antara gelisah dan takut.
Arka masih menghitung.. tapi aku mencoba dengan sekuat tenaga  melupakan berapa lama lagi aku akan sampai padanya.
Dulunya.. sempat terpikir olehku ketika memandang langit gelap dikelilingi kelap kelip bintang, apa jadinya malam tanpa mereka? Tentu bumi tak akan kekurangan penerang  —tak akan pernah. Rembulan sudah cukup kuat untuk itu  —tapi tidak lengkap. Sama seperti jiwaku tanpa Arka.

Ketika aku menunggunya.. betapa lamanya waktu berlalu untuk sampai pada dirinya?  namun ketika aku sudah menikah, lalu tak memiliki harapan untuk bisa bersamanya.. waktupun terasa berjalan terburu-buru. Aku malah berharap tak akan sampai pada bulan 0 yang akan mempertemukan kami. Karna aku tak tahu darimana harus menjelaskan yang terjadi padaku.

Aku mencintai nya dan mungkin selalu.

"Aku masih terus berharap.” Suara Arka terdengar pilu. Tentu saja akupun berharap. Tapi sekarang sudah jelas aku melangkah mundur ketika selangkah lebih dekat dari Arka.

“ Sayang.. Lea..” Suara Adam yang terhimpit dindingpun terdengar.

Aku tercengang. “ Ar.. ku telpon lagi nanti.”

“ kenapa? Kau sibuk?”

“ tidak.. tidak juga.. hanya..”

“ kau dimana sayang?” sekali lagi Adam memanggil.

“ Aku akan menelponmu nanti.” Cepat-cepat ku tekan kata ‘akhiri’, lalu mengaktifkan mode diam.

“ Arzalea..” teriakan itu mulai terdengar dekat. Lalu tiba-tiba Adam muncul dari tangga. Iapun segera melangkahkan kakinya mendekatiku yang tengah berada diberanda atas  —memandangi perkarangan belakang.

“ rupanya kau disini..” pandangannya terlihat lega, Lalu mendekat dengan sigap untuk mengelus bibitnya yang mulai membesar. Aku bersumpah ia terlihat bahagia setiap kali melakukan tindakan membosankan ini. Sayangnya hari-hari aneh ini tak berdampak banyak pada perasaanku. Aku tak merasakan apapun pada gundukan diperutku. Seperti kasih sayang, penantian, atau semacamnya, layaknya seorang ibu menunggu buah hatinya lahir. Seakan-akan ‘manusia dalam proses’ yang membuat perutku membesar ini hanya keturunan Adam  —sulit untuk disayangi.

Share:

0 komentar