c | Takdir Menyebalkan | Journey To Northen Light

Takdir Menyebalkan

Rencananya Arka akan berangkat ke Surabaya bersama ayah dan ibunya. Ayahnya yang sudah beberapa kali keluar masuk ke Surabaya untuk berbisnis —sudah memiliki rumah. Bahkan tak terlalu jauh dari kampus yang Arka inginkan. Sedangkan Wulan ada diluar negeri dengan mimpinya. Ia kuliah desain baju. Sejujurnya nyaris 4 tahun ia berdiam dirumah setelah lulus. Aku sempat menebak hal itu sebagai bentuk frustasinya ketika ditinggalkan kekasihnya kuliah keluar kota. Tapi ketika Arka menceritakan yang sebenarnya, aku merasa bersalah. RUpanya wulan tengah berusaha menggapai mimpi-mimpinya. Ia mendesain puluhan baju setiap harinya. Ia bekerja keras untuk mewujudkan apa yang ia inginkan.
Bagaimana bisa aku menyerah, sedangkan semua orang bekerja melampaui dirinya untuk mencapai keinginananya?

" 30 menit lagi pesawat akan berangkat." Tante Diana memberitahu Arka yang masih disampingku. " kau akan baik-baik saja, sayang! Nanti Arkanya juga pulang kok." Lanjutnya sembari menyentuh pipiku sesaat. Lalu iapun berjalan memasuki mobil yang sudah terisi om Yayid, beserta sopirnya.

Aku menatap Arka hati-hati. ingin sekali menahannya tinggal. tapi aku tidak bisa menahan mimpinya. aku tahu betapa berartinya mimpi itu untuknya.
aku menahan diri, bersikap wajar.

" Apa kau sudah memeriksa barangmu yang.. "

" udah!" sahutnya. Padahal pertanyaanku belum selesai.

Akupun kembali memandang Arka. Pandangnya begitu menusuk, tak tahan menyembunyikan rasa cinta ini darinya.

" Aku akan menggapai mimpiku.. dan kau menggapai mimpimu." Tangan Arka mengelus pipiku.

" bagaimana dengan Riana? kau meninggalkannya?" Sejujurnya aku masih cemburu buta pada gadis itu.

" Aku memutuskanya, sejak pesan singkatnya yang menjauhkanmu dariku." Kejelasan status hubungan mereka membuatku tersenyum senang. Meski masih banyak kesedihan yang berusaha memudarkannya.

" itu tidak adil."

" ya.. tidak adil untuk hubungan kita." jawabnya.

Akupun terdiam memandangi mata indah Arka yang masih sama berkilaunya sejak pertama ku tatap mata itu. Aku yakin, tatapan menusuknya semacam ini akan disimpan oleh memori otakku selamanya. Yang tak akan membuatku bisa melupakannya.. dalam hari-hari terburuk setelah hari ini.
Lalu aku kembali mendekatkan tubuhku ke tubuh Arka, dan melingkarkan tanganku ke lehernya, lalu memeluknya. Setiap detiknya.. ku lingkarkan tanganku semakin erat. Rasanya ingin sekali menahannya pergi.

" Raihlah mimpimu." Bisiknya. Tapi aku tak menjawab, masih menyandarkan kepalaku dipundaknya dengan harapan bisa bersamanya dalam waktu yang lama. Barangkali kata lainnya, tubuhku terlalu menikmati kehangatan Arka.

" Hei.. aku punya sesuatu untukmu.." bisiknya kembali. Aku masih enggan bergerak, tapi tangannya mendorong pinggangku.

Arka menyambutku dengan senyuman. " Tutup matamu.." ujarnya. Aku menggeleng tak ingin mengalihkan pandanganku sedetikpun darinya.

" untuk apa?"

" tutup saja.. " paksanya. Lalu aku menutup mata. Mendadak ku rasakan sentuhan dingin ditangan kananku. Lalu akupun membuka mata. Ku lihat tanganku digenggam Arka, Tapi ada titik dingin dibalik gengamannya itu. Perlahan Arka menarik tangannya.. menyisakan sebuah kotak silver sebagai bandul kalung dengan warna yang sama. Ditengah-tengah kotak menyerupai buku tersebut, terdapat huruf A, dengan lengkungan-lengkungan seperi bunga disekelilingnya.

" A untuk Arzalea." kata Arka menyentuh bandul kalung yang masih ku pandangi. Lalu iapun membalikannya. Menampilkan huruf yang sama tanpa lengkungan apapun. " dan A.. untuk Arka. " lanjutnya. Akupun mengalihkan pandanganku dari kotak tersebut ke mata memikat Arka.

" bangunlah perpustakaan." perintahnya. Aku mengangguk lalu merangkulkan kedua tanganku dilehernya. Mendekapnya lagi dan lagi. Namun hanya beberapa detik aku teringat perasaanku yang sesungguhnya pada Arka. Aku sungguh ingin menyatakannya. Tapi apakah tidak akan terasa sakit bila ku katakan detik ini, dan beberapa detik kemudian ia akan pergi. Beruntung bila ia tak marah mengetahui perasaanku yang seharunya tak melebihi batas sahabat. Tapi bagaimana kalau ia kecewa terhadap apa yang selama ini ku tutupi? apakah jarak yang membentang diantara kami tak akan lebih menjauhkanku darinya? Lalu aku tak dapat merasakan kehangatan dekapannya senyaman ini.

Akupun berangsur-angsur menarik diri. Meski tanganku masih melingkar dileher Arka,yang melingkarkan tangannya dipinggangku. Lalu aku memandanginya, berniat ingin mengetahui perasaan apa yang ia rasakan lewat tatapannya. Senyumnya malah menghanyutkan, Seakan aku kehilangan akal. Ketika tatapannya kena dalam mataku, senyumnya pun memudar. Beberapa detik kemudian iapun mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bahkan hembusan nafasnya menyapu wajahku. Hidung kamipun mulai saling bersentuhan. Hanya kurang dari 1 sentimeter lagi, bibir kami akan saling menempel.
Kami terhenti dalam posisi tersebut beberapa saat.
Ku tutup mataku..
Nafasnya yang wangi masih memburu. lalu berangsur-angsur kehangatan nafasnya tak lagi kurasakan.
aku kembali membuka mataku.
Rupanya wajahnya sudah sedikit lebih jauh. otomatis, tangankupun bergerak menarik kepala Arka untuk kembali lebih dekat. Ku dekatkan bibirku mendekati bibirnya. Aku bersumpah bibirku sempat menempel di bibirnya, meski kurang dari setengah detik, Hingga pada akhirnya Arka mengalihkan pandangannya. Lalu membuatku mengerti bahwa bukan inilah yang ia inginkan dariku. Otomatis kepalaku menjauhinya, melonggarkan rangkulanku dilehernya. Lalu melepaskan tanganku yang merangkulnya. Semuanya terjadi begitu saja secara tak sadar mengikuti bagaimana tatapannya memandangku.
Mendadak.. Arka melebarkan bibirnya lalu mencium keningku. aku bisa merasakan bagaimana keseriusan ciuman itu yang ku artikan sebagai ungkapan maafnya yang hanya bisa membatasi hubungan kami sebagai sahabat.
Aku ingin menangis.. air mataku sudah bertumpuk dipelupuk mata, tapi ketika ku rasakan tangan kanannya mengelus pipiku. hal tersebut sedikit terobati.
kecupan itupun berakhir.
Arka merengkuh wajahku dengan kedua tangannya.

" Aku ingin kau tahu.. aku akan selalu ada untukmu." Ia menekankan setiap kata. Seakan ingin aku benar-benar mendengar yang ia katakan. Ku harap itu benar. Ku harap akulah gadis yang dicintainya itu. Meski kini penjelasannya sulit untukku bisa mengakui yang ku pikirkan.

Arka mendekapku untuk beberapa saat, begitu erat, namun begitu sebentar. Entah sudah berapa pelukan yang kami lakukan malam ini. Setidaknya hal itu salah satu cara menangani perpisahan kami.
Arkapun bergerak menjauhiku. Memasuki mobil yang akan menjauhkannya dariku.
Aku masih berdiri ditempatku, meratapi kepergian orang yang begitu ku sayangi. Hingga pada akhirnya.. mobil yang Arka tumpangi perlahan berbelok ke kanan, Lalu mataku tak dapat mencapainya lagi. Beberapa detik kemudian akupun sadar seharusnya aku menahannya. Aku berlari, berharap dapat mengejar mobilnya, entah apa yang mendorongku, yang ku tahu aku hanya tak ingin Arka pergi. Tapi jejaknya menghilang begitu cepat, ia langsung lenyap dibawa kendaraan beroda empat itu.

Angin malam yang dinginpun melewati leherku, membuat bulu kudukku berdiri. Tapi aku terus berlari tanpa berpikir, dengan baju tidur berbahan katun yang ku kenakan. Langkahku semakin lemah, entah berapa jauh jarak yang membentang memisahkan kami. Kalau aku berhenti, aku akan semakin ditinggalkan Arka menjauh. Tapi nyatanya aku tak sanggup melakukan hal lain, dan kesadaran itupun mengundang tangisanku kembali. Lalu mendadak menghentikan langkahku yang sudah tak berdaya.

Gelap gulita menyerang, awan tertelan kabut. Cahaya bulanpun menghilang. Beginilah rasanya sendiri.. nampaknya akupun sudah bisa merasakannya sebelum hal itu berlanjut lebih lama.
Mendadak, Kunang-kunang mengerumuniku, seakan berusaha menunjukan bahwa ada cahaya lain yang tersebar dipelosok dunia. Meski hanya berupa pecahan titik cahaya.


Share:

0 komentar