Tertanda, Arka
Aku terus menghindari Arka. Beberapa kali ia mengunjungi rumahku. Tapi aku selalu berasalan belajar dan belajar. Aku tak pernah mengizinkannya masuk ke rumahku lagi. Meskipun ia memintanya.
Sekitar hanya seminggu..
setelah ujian nasional selesai.. Aku memutuskan menghabiskan hariku
diperpustakaan. Bukan lagi untuk kelompok membaca. Melainkan untuk
menambah pengetahuanku seperti Mum.
Beberapa kali.. Arkapun
mengunjungi perpustakaan. Tentunya ia tak pernah luput menegurku, bahkan
berniat mengajakku bercanda. Tapi aku tetap bersih kukuh menjauhinya.
Dengan terus membaca buku atau berpindah ke tempat duduk yang lain.
Pola kehidupan
menyebalkan yang ku pilih tersebut berjalan cukup lama.. Bahkan aku
nyaris tak menyadarinya bahwa hal tersebut sudah berjalan berhari-hari,
memasuki minggu-minggu. Rasanya seperti aku menghabiskan sisa hidupku
penuh kekosongan.
Beruntungnya.. kesibukan membaca mengalihkan pikiranku tentang Arka.
Kini.. hari kelulusanpun
berlalu.. tentu aku lulus. Arkapun demikian. Meski aku tak mendengar
beritanya dari Arka. Setidaknya orangtua kami bersahabat, dan hal itu
cukup memberiku informasi tentang bagaimana bagusnya nilai Arka. Tentu
aku tidak kaget, sedari dulu ia memang cerdas. Terkadang itu tidak
adil.. Bagaimana mungkin tanpa belajar yang giat, Ia selalu juara
dikelasnya? Lalu setelah ku pikirkan cerita Arka yang lain.. akupun
berubah pikiran. Arka memang tak rajin belajar, tapi ia selalu serius
mendengarkan penjelasan guru, bila ia tak mengerti iapun aku terus
bertanya sampai ia mengerti. Hanya itu! Aku nyaris tak mempercayainya.
Meskipun sudah lebih
sebulan aku berhasil menjauhi Arka.. perasaanku tak dapat bergerak
begitu saja. Aku menyukai Arka, bahkan rasa suka ini sulit
diterjemahkan.. ku pikir wajar bagi setiap sahabat saling menyukai.
Itulah alasan kenapa mereka bersahabat. Tapi perasaanku seakan
meluap-luap.. melampaui kata suka. Dan itu tidak adil. Kenapa aku
menyukai seseorang yang tak menyukaiku. Seharunya aku menyukai seseorang
yang sama pedulinya terhadap diriku.-dalam rasa suka yang sama.
" Arzalea.. Arzalea.."
Lily berteriak-teriak dari balik pintu kamarku. Aku yang tengah terlarut
dalam pikiranku bersama kenangan Arka enggan bergerak. Namun sekali
lagi Lily memanggil, menggedor pintu seenaknya sendiri. Terpaksa dengan
lemah aku membukakan pintu untuknya.
"Aku sibuk." Ku ucapkan dengan pelan. Lalu kembali menutup pintu.
" Arzalea.." Teriak Lily dengan nada keluhan. Aku mengabaikannya lalu kembali berjalan ke tempat tidurku.
" kau dapat surat.."
Pekik Lily. Aku kaget. Mendadak berhenti bergerak. "bila kau tidak mau
membacanya.. biar aku yang membacanya." Serunya.
Surat? Ini bukan hal
biasa. Siapa yang mau lelah-lelah menulis, mengirim ke kantor pos, lalu
menunggu lama dengan pikiran bergejolak tentang 'dibaca siapakah suratku? 'Tidak ada yang mau melakukan itu. Jaman kehidupanku.. berjalan mempermudah segala hal. Termasuk mengirimkan sebuah pesan.
Aku membuka pintu dengan
cepat. Namun ketika aku ingin mengambil surat yang ditujukan untukku,
Lily malah mempermainkanku dengan berlari mengelilingi setiap ruangan
dirumah. Aku harus berjuang keras untuk mendapatkan suratku.
" Lily.. " jeritkku lagi
lagi. Tapi kenakalan Lily tak terbendung, Ia malah berlari melewati
tangga untuk turun. Meski berhenti beberapa tangga dibawahku.
" atau ku kabarkan pada
Mum.. Kau punya pacar!" Ancamku dengan suara bisik-bisik. Sejujurnya aku
tak sengaja mengetahui itu. Aku menangkapnya ketika aku kehabisan
batrai untuk membalas pesan Arka beberapa bulan lalu. Tepatnya saat kami
masih bersama. Ketika itu mati lampu.. Arka tengah asik di salah satu
warung bakso bersama teman-temannya. Lalu ia menawariku bakso. Entah
kenapa ketika itu ia mengingatku. Tapi aku senang mengetahui
kebenarannya.
" Ayah sudah tahu." Jawabnya tegas. Entah dengan cara apa lagi aku mengancamnya. Lalu Lilypun menengok surat itu kembali.
" Untuk Arzalea.."
teriak Lily. Aku geram sekali mendengar itu. Ia bahkan menggodaku dengan
menaikan surat itu jauh di atas kepalanya, lalu menerawangnya.
" ya sudahlah.. terserah." Putusku sembari berbalik badan, berniat kembali ke kamar.
" Kau kenapa sih, Lea?
Jangan mudah menyerah seperti itu.." Tiba-tiba Lily bersuara. Lalu
secepat mungkin berjalan ke sampingku. " Seharunya kau berjuang lebih
keras untuk hal yang ingin kau dapatkan." Kini ia menasehatiku. Tapi
ucapannya benar.
Lilypun mengulurkan suratnya padaku.
" janji?" ujarnya sembari menunjukan jari kelingking. Aku tersenyum menanggapi tingkah kedewasaannya.
" Ayolah.. berjanji
padaku. Atau ku ambil kembali suratmu!" ancamannya terlihat kaku. Aku
mengangguk. Lalu menanggapi kelingkingnya.
Setelah ku dapatkan
suratku.. Aku langsung berjalan ke kamarku dengan penasaran. Tak lupa
mengunci pintu, takut tiba-tiba Lily muncul lalu membaca diam-diam
suratku.
Dipojok kanan surat terdapat tulisan; untuk Arzalea. Hanya itu tulisan yang ada diamplop. Lalu ku sobek sisi kirinya, agar tak merusak namaku. Tapi beberapa detik kemudian aku terhenti memandangi surat tersebut. Sebenarnya aku penasaran dengan isinya. Tapi siapa yang mengirim ini? Ku harap sesuatu yang akan berguna untuk masa depanku.
Untuk Malaikat Pelindungku.. Arzalea.
Aku tak pernah
berpikir akan pergi jauh darimu, tapi sekarang kenyataan itu sudah jelas
didepan mataku. Katakan padaku, bagaimana lagi aku bisa mengelaknya?
Setelah ini.. hari-hari menyebalkan sudah menungguku.
pernahkah kau
membayangkan itu? kita akan terpisah oleh jarak dan waktu yang
membentang. Aku tak lagi bisa secepat kilat mendekapmu ketika ku pikir
dunia mulai berjalan aneh, atau ketika aku bermimpi aneh.
Tapi seperti yang
pernah kita bagikan, kita memiliki mimpi yang harus diperjuangkan, aku
akan menggapai itu, seberapa sulitpun caranya. Lalu kembali lagi dalam
dekapanmu.
Yang kau tahu tentang
hari itu.. bukan lah apa-apa. Aku tak pernah sedikitpun ingin
menjauhimu. Bahkan mesikpun ku lihat bidadari tercantik menginjakkan
kaki diplanet ini.. Aku tak akan pernah mau menjauhimu.
Karena bagiku.. kaulah satu-satunya bidadari tercantik yang pernah ku temui.
Satu-satunya Malaikat Pelindung Mimpiku.
Satu-satunya yang dapat memahami segala yang ku ketahui tentang diriku.
Aku ingin kau tahu.. Aku akan selalu ada untukmu.
Tertanda,
Aku nyaris meneteskan
air mata dalam beberapa saat. Dari gaya tulisannya..
kalimat-kalimatnya.. aku tahu persis siapa pengirimnya. Tapi sayangnya
aku tak punya bukti untuk membenarkan itu. Tapi aku tak peduli.. Aku
tidak mampu lebih lama menjauhinya. Bisa-bisa aku mati tanpa penyakit
yang jelas.
Tanpa memikirkan
bagaimana aku terlihat.. yang sudah memakai baju tidur dengan motif
gambar hewan pinguin. Aku langsung berlari ke rumah Arka sembari
memegang surat yang ia tulis.
" Arka.. Arka.."
Panggilku sembari menggedor pintu kayu rumahnya. Tak lama wanita matang
dengan pakaian yang masih rapi.. mengenakan blezzer merah dan dalaman
hitam.. yang tak lain Tante Diana, Ibu Arka. Membukakan pintu untukku.
" Arka dimana tante?" Tanyaku tergesa-gesa. Ia terlihat bingung, meski tersenyum konyol memandang wajahku.
" Dikamarnya. Sedang mengemasi baju." Jawabnya menunjuk atas.
" Apa?" aku terheran-heran. Apa maksudnya Arka mengemasi baju? Dia akan kemana?
" ya.. dia pasti baru
memberitahumu kalau pesawat untuk besok dibatalkan pihak bandara? Lalu
memutuskan berangkat hari ini?" Aku menggeleng tak mengerti.
"memangnya Arka akan kemana?" tanyaku dengan wajah tolol.
" Dia tidak mungkin
merahasiakannya darimu? Lusa.. dia akan mengikuti tes beasiswa di
Surabaya!" penjelasan Tante Diana membuat tubuhku membeku. Kesunyian
terasa begitu senyap. Yang terdengar hanya detak jantungku yang tak
menentu, yang diiringi oleh sejuta penyesalan karna menjauhi Arka.
" Arzalea.." panggil
Tante Diana. Akupun tersadar kini Arka masih ditempat ini. Lalu aku
langsung berlari secepat mungkin ke kamar Arka. Aku nyaris terjatuh
ketika melewati tangga, bersyukur tanganku dengan sigap memegang pagar
ditepiannya. Hal itu membuatku memperpelan langkahku dari lari
sekencang-kencangnya, ke lari biasa.
Kamar Arka terbuka
lebar.. Aku bisa melihat kesibukannya mengambil baju dilemari, lalu
melipatnya di koper yang ditumpangkan ke tempat tidurnya.
Aku masih tak mengerti kenapa dia harus pergi? Bahkan ketika aku menjauhinya beberapa waktu.
" Bagaimana bisa.." Aku menggeleng sedih sembari menatap Arka yang masih cukup jauh dariku berdiri saat ini.
Rupanya suaraku didengar
Arka, hingga membuatnya menoleh. Tatapannya menyedihkan. Namun
senyumnya membakar penyesalanku. Membuatku tak sabar mendekapnya. Akupun
melangkah..
" Kau menulis surat untukku?" Aku berusaha bersikpa normal. Meski pikiranku panik, gelisah, takut, bingung..
Akupun menunjukan surat yang ku bawa ke Arka. Dijawabnya dengan menunjukan lesung pipitnya yang manis.
" Apa disana tertulis
namaku?" tuntutnya membuatku tertawa kecil. Responnya sama seperti
responku beberapa bulan lalu ketika menulis surat untuknya.
" Tidak.. Tapi aku bisa membaca namamu dari gaya tulisannya." Jawabku membuatnya tertawa.
" gaya tulisannya?" ia
nyaris tertawa konyol. Lalu mataku beputar. Setelah itu.. mencari
keberadaan pulpen untuk menuliskan nama Arka. Langsung saja aku ke meja
komputernya. Biasanya ia belajar, mengerjakan PR, menggambar, atau
menulis dan sebegainya di sebelah komputernya. Tapi kini meja yang
biasanya berantakan itu kosong. Hanya ada komputernya saja.
Ku tatap setiap sisi
kamar Arka. Kini semuanya rapi.. tak seperti biasanya yang selalu nampak
berantakan dan membuatku terjebak dikamarnya lama hanya untuk merapikan
buku-buku yang berantakan, Selimut dan bantal yang berhamburan, atau
pakaiannya yang terkadang keluar dari lemarinya secara ajaib. Dan aku
terpaksa melipatkannya berjam-jam didamping Arka yang hanya duduk
disampingku, atau memandangiku.
Apa ia akan membawa semuanya? Lalu tak bermaksud kembali lagi?
Aku memandang Arka tanpa
nyawa. Lalu tiba-tiba pikiranku dialihkan oleh foto kami didinding
belakang Arka. Tentu saja. Kamar Arkapun diisi oleh foto kami berdua.
Meskipun hanya beberapa. Konyolnya sisanya malah fotoku saja. Dia bahkan
tak memiliki foto keluarganya dikamarnya.
" Kau tak bermaksud akan
pergi selamanyakan?" Tanyaku sedih. Eh pertanyaan itu malah memunculkan
tawanya. Lalu sekonyong-konyong langkahnya bergerak ke meja
komputernya. Membuka laci, lalu mengambilkan pulpe untukku.
" Kau pasti mencari
ini?" Aku mengangguk sembari mengambil pulpen ditangannya. Lalu duduk
dimeja komputer Arka untuk menuliskan nama Arka dibawah tertanda.
" Kini tertulis namamu." kataku sembari menengok ke Arka. Ia tersenyum lalu merangkulkan tangannya dileherku.
" tentu aku yang menuliskannya!" bisiknya. Lalu beberapa detik kemudian ia melepaskan rangkulannya. Membuatku ikut berdiri.
Sesaat tatapan kami bertemu, penderitaanku tanpanya pun mulai terbayang-bayang dari pandangan matanya.
" Tidak ada yang
melakukan itu untukmu kan?" tanyanya. Aku menggeleng. Membuat Arka
tersenyum. Lalu akupun mendekapnya, rangkulannya tadi belum bisa
mengobati kerindukanku selama ini.
Ku dekap Arka semakin
erat. Berharap rasanya bisa ku rasakan bebulan-bulan setelah ini. Hal
itupun membuat air mataku mengalir begitu saja.
" Kau akan kemana?" tanyaku dengan suara teredam kaosnya.
" menggapai mimpiku." bisiknya sembari melingkarkan tangannya dipunggungku lebih erat. Tapi air mataku malah semakin deras.
" Kau akan meninggalkanku?" suaraku terdengar parau, bahkan untuk diriku sendiri.
" tidak.. aku tidak akan pernah meninggalkanmu." bantahnya. Lalu ia mendorongku perlahan, menatapku dengan kedua matanya.
" Ayo.. ikut denganku! kita gapai mimpi kita bersama." Ajaknya seraya menyeka air mataku.
" Mereka tak memiliki
cukup uang untuk mengirimku kesana." Jawabku dengan suara bisikan. Arka
tersenyum, Lalu kembali menghapus air mataku.
" kalau begitu tak
masalah dimanapun tempatnya! asalkan kau bersungguh-sungguh, kau pasti
akan mewujudkan mimpimu." Nasehatnya membuat air mataku semakin deras
mengalir melebihi batas normal. Malah membentuk suara isakan. Meluluhkan
tubuh Arka untuk kembali mendekapku. Pelukan itupun belangsung lama
didampingi tangisanku yang bersedu-sedu.
" Ayolah Arka.. pesawatnya dua jam lagi!" Tiba-tiba suara itu menarikku dari dekapan Arka.
" Kau akan baik-baik saja, sayang!" Mata tante Diana memandangku dengan iba.
Dengan suara isakanku yang masih jelas, akupun mengangguk, membuatnya kembali meninggalkan kami berdua.
" Seharusnya aku
berangkat besok sore.. tapi perkiraan cuaca membuat penerbangan
dibatalkan. Pihak bandara memberiku dua pilihan.. berangkat malam ini
atau lusa.. tapi tes beasiswanya lusa.. Ibuku pikir, lebih baik
berangkat malam ini." Jelas Arka. Aku mengangguk. Aku sudah mendengarnya
dari Ibunya tadi. Tapi kini ia memperjelas, membuktikan kebenaran yang
tak dapat dipungkiri.
" Ke-na-pa kau ti-dak
mem-beritahuku?" tanyaku putus-putus menahan isakan bekas tangisanku.
Bila aku tahu keberangkatannya malam ini, barangkali aku akan
menyingkirkan keegoisanku, lalu mendekapnya setiap waktu. "Bagaimana
bisa.." Air mataku kembali menetes menatap sikap diamnya. Arkapun
buru-buru menggenggam tanganku.
" Percaya padaku, Ar!
aku sudah mencobanya.." Ia meyakinkanku. " tapi kau selalu
menghindariku." Lanjutnya. Aku mengangguk dengan penuh penyesalan.
Mata kami kembali
bertemu. lalu aku mulai samar-samar menatapnya. ku kedipkan mataku lalu
teringat begitu berartinya mimpi Arka untuknya.
AKu tak seharusnya menahan langkahnya!
" Kalau begitu.. ayo
bereskan pakaianmu, jangan sampai kau terlambat!" Aku mulai bergerak ke
lemari Arka dengan air mata yang semakin menetes tak terkendali. Lalu
memilihkan beberapa kemeja untuknya dibawa pergi. Aku nyaris tak
memperdulikan apapun, selain memasukkan baju Arka hingga kopernya penuh.
Tags:
Tertanda
0 komentar