Melodi Terjebak (3) Give me therapy
Aku menatap mata coklat Mikael untuk terakhir kali sebelum melangkah masuk ke bus yang akan membawaku kembali ke Atlanta. Aku ingin dia berkata tinggal, namun bukan itu yang dikehendaki kenyataan. Apalah perasaan spontan itu, ia tak bisa mengambil alih. Urutan mimpi buruk yang mendesakku menjadi gadis ini sudahlah cukup berat membebani pundakku. Dan kini bila akhirnya pria ini tertarik mendekapku karena perasaan spontan itu, aku mungkin akan mengulang mimpi buruk yang sama, berminggu-minggu.., dalam masa tahunan yang terlarut-larut lebih tak menyenangkan.
Mikael membuka mulut, namun suaranya lenyap ditenggelamkan pandangan gelisah.
Aku tertegun setengah berharap bisa melarikan diri. Lalu suaraku terdorong maju melewati tenggorokan.
"Have a nice day!" Aku terdengar seperti ingin menangis. Padahal aku berusaha tak peduli.
Miki mendengus, matanya bergerak pelan pas di tatapan yang paling ku hindari.
"Aku punya tiket yang sama seperti milikmu!" Suara tegasnya mulai mengusik perasaanku. "Aku akan naik, bila hanya kau merasa cukup nyaman berdampingan denganku beberapa jam sampai Atlanta." Aku menyerapi ucapannya, dan mataku tak mampu mengelak.
"Tapi aku akan berlari dari hadapanmu secepat mungkin setelah kau berkata tidak, bila kedatanganku memang merusak kebahagiaan mu!" Mulutku terbuka bingung, dan Mikael langsung memotong "Aku akan sampai ke Atlanta dengan caraku! Dan aku akan memastikan kau tidak akan bertemu bajingan tengik ini lagi!" Pandangannya putus asa sekali setelah ia menyelesaikan ucapannya yang hanya ku balas tatapan sama.
"Tapi aku akan berlari dari hadapanmu secepat mungkin setelah kau berkata tidak, bila kedatanganku memang merusak kebahagiaan mu!" Mulutku terbuka bingung, dan Mikael langsung memotong "Aku akan sampai ke Atlanta dengan caraku! Dan aku akan memastikan kau tidak akan bertemu bajingan tengik ini lagi!" Pandangannya putus asa sekali setelah ia menyelesaikan ucapannya yang hanya ku balas tatapan sama.
Senyap menyihir.
Aku masih menggali ketulusan mata indahnya yang selalu membuatku terkagum-kagum.
Aku ingin berkata padanya betapa tidak adilnya dia padaku, dia mendorongku ke perairan terbuka hingga aku tenggelam jauh ke dasar atlantis, dan aku memerlukan waktu yang sulit dihitung untuk membawaku kembali ke daratan, dalam nafas yang berperang dalam ketiadaan. Dan entah bagaimana, aku dikirim kembali dengan keadaan yang bisa membuatku lupa betapa jahatnya ia mengirim penderitaan dibelakang bahuku. Dan kini, setelah semua itu bisa ku simpan dalam kenangan, mata pesonanya yang berkilau bagai pancaran permata paling langka.., hanya dalam hitungan detik-detik murahan yang tak terduga, aku dibawa masuk pada masa awal aku dan dia berada dalam kita. Dan konyolnya aku lupa pada penderitaan yang telah ia perbuat.
Mikael menatapku begitu dalam, aku berharap dia masuk saja. Karena aku sendiri tidak di beri pilihan bila disudutkan pada pertanyaan semacam itu. Kebanyakan bagian tubuhku merespon baik. Bahkan bila mungkin, aku mengharapkan nya kembali. Tapi itu bukan alasan yang cukup logis mengingat gadis ini bukanlah aku yang bersamanya dulu.
Aku melihat sekelilingku sebelum bersuara, dan semua orang sudah di bus. Perasaanku berubah panik, entah bagaimana aku hanya takut aku tertinggal. Karena aku tahu ini bus terakhir ke Atlanta. Tanganku merespon otomatis menarik tangan Mikael untuk masuk ke bus.
Aku terhenti melangkah setelah masuk lewat pintu belakang bus, dan suara merdu kebahagiaan yang ku rindukan terdengar riuh di telingaku.
Mikael tertawa, dan menarikku duduk di kursi belakang yang tidak diisi oleh siapapun. Tatapannya langsung lega ketika aku tak sengaja menatap matanya. Dan ia terhenti tertawa, menyisakan senyum kecil. Tangannya menyusuri turun ke telapak tanganku.
"Kau bisa mengandalkan bajingan ini, sekarang!" Akupun ingin mengandalkannya lagi, bahkan iapun harusnya tahu aku selalu mengandalkannya. Tapi hal-hal sekarang berubah. Bukan lagi tentang kepercayaanku padanya. Tapi kita berdua dilingkari takdir baru diluar harapan mimpiku dan mimpinya yang menyelinap masuk ketika kita dijauhkan jarak.
"Kau ingin aku mengandalkan bajingan?" Mikael terkekeh.
"Kau sudah terbiasa mengandalkan bajingan!" Pundaknya menyenggol pundakku. Dan matanya mulai bisa beralih dari kegelisahan yang ku tangkap tadi.
Jalanan panjang yang redup dan terang membingkai, rona lelap lelah sang waktu tergeser jauh disampingku. Aku tahu bukan waktunya membuatnya kembali, mesti penderitaan membuntuti. Tapi rasa bukanlah sesuatu yang bisa di arahkan, dan mungkin dalam kemungkinan di paling dekat nya, bisa dihindari. Tapi karena kuatnya kenangan manis itu membungkus dendam, rasa ku mengaturnya sendiri.
Tags:
Melodi Terjebak
0 komentar