c | Sebagian Jiwanya | Journey To Northen Light

Sebagian Jiwanya

Aku tidak mengerti kenapa Mum masih dirumah. Harusnya ia sudah berangkat lagi ke perpustakaan. Istirahatnya hanya satu jam. Dari jam 12 siang hingga jam 1.00 Tapi ini sudah 01.15. Ia masih duduk santai diruang tamu sembari memeriksa beberapa lembar kertas yang disatukan dengan klip kertas staples.

" Lea.. ganti baju, sholat, langsung makan." Perintah Mum. Aku mengangguk, Lalu ke atas mengganti baju. Kemudian mengikuti perintahnya Lalu ke dapur.

Vaad sudah sibuk dengam gambarannya. Duduk jongkok di sofa, sembari mencoret-coret buku gambaranya yang dibawahnya dilapisi lapik kayu.

" Lea, nanti setengah 4 temani Vaad ke taman anak-anak dibelakang perpustakaan."

" Apa?" aku langsung tersedak. " Aku tidak bisa Mum.." Aku hanya tidak suka pasti disana banyak anak-anak kecil. Tapi aku tidak mau menyakiti hati Vaad. Ia bahkan sudah memperlihatkan muka melas menatapku. " maksudku.. Bagaimana kelompok membacaku?" Aku meralat ucapanku.

" libur untuk hari ini." Jawabnya singkat. Aku tertegun—dalam arti baik.

" bagaimana kalau selamanya?" aku sudah kegirangan. Tapi ia malah terdiam menatapku. " Aku sudah kelas 3 Mum, aku banyak tugas. Kelas 3 SMA itu lebih berat dari kelas 3 SMP." Keluhku sembari mengaduk-aduk nasi dengan Jangan grombyang. Sayur yang berisi bayam dan wortel. Atau daun melinjoang —dipadukan dengan tempe goreng, dan sambal tomat. Itu menu kesukaanku.

" Lagipula lesnya akan dimulai minggu depan." Lanjutku.

Aku menatap Mum dengan penuh harapan. Lalu ia mengangguk. " Kau harus belajar matematika dengan giat. Arka pasti mau membantu." Aku ternganga bahagia. Lalu meloncat-loncat bak kelinci kecil yang baru merasakan wortel pertamanya.

  " Tapi kau harus tetap menemani Vaad." kesenanganku mendadak musnah. Lalu Lily sekonyong-konyong Lily sampai dirumah tepat waktu.

" Bagaimana kalau Lily?"

" Tentu.. kalian berdua yang akan menemani Vaad." Katanya.

" Bukan aku yang bertanggung jawab, Mum. Aku hanya akan membantu. Tangung jawab utama tetap pada yang tertua bukan." Lily menujukku dengan wajah serius. ia bahkan tak tahu menahu tentang apa yang kami bicarakan.

"Kau benar Lily. Tapi Mum menyerahkan Vaad pada kalian berdua." Tegasnya. Lalu mengangkat kaki menjauh begitu saja.

Lily menatapku dengan dua kesimpulan yang dapat ku baca dari matanya.. pertama seakan ia berkata 'Rasain lo!' kedua sisi lain dari wajahnya menunjukan 'Kau harus bertanggung jawab!' Lalu Lilypun masuk ke kamarnya, mengganti pakaian sekolahnya.

" Apa yang ingin kau lakukan ditaman anak-anak, Vaad?" Aku setengah ingin memperngaruhinya untuk tidak datang ke tempat penuh anak kecil itu.

" Aku ingin menyerahkan cerita pendek yang ku buat bersama Mum ke bu Safira —salah satu seorang pendongeng yang berdongeng setiap sore ditaman tersebut." Jelas Vaad.

" sungguh?" aku tak tahu menahu mengenai hal itu.

"Yea. Aku yang menggambar kejadiannya, Mum yang membuat ceritanya." Ah yang benar saja? sesuatu merambat ke otakku penuh penasaran! Akupun membuat berpindahan dari kursi makan ke sofa.

Ku lihat sebuah buku dengan cover lucu berjudul si Penguin yang comel. ku ambil buku tersebut. Lalu merabanya dan langsung menyadari kalau kertas yang digunakan lebih tebal dari kertas HVS.

Penguin tersebut dibuat tersenyum jengah dengan kedua tangan yang disimpan didepannya.

" Hanya ingin menyerahkan buku ini?" tanyaku. Bila benar berarti hanya beberapa detik saja. Dan aku tak akan merasa kesal melihat kejailan anak-anak kecil.

" Tentu tidak.. Aku akan mengajukan diri menjadi pendongeng." Vaad setengah tertawa mendengar pertanyaanku.Aku mendadak berubah pikiran. "Hal itu akan menghibur anak-anak kecil." tawanya sudah dilerai dengan keseriusan. Aku terpesona, anak kecil sepertinya memikirkan banyak hal.

"Kau anak kecil!"

" tidak.. Aku sudah 9 tahun kak. Aku sudah cukup besar." Bantahnya.

Hidup itu lucu.. Aku sudah dewasa, tapi aku bahkan tak pernah ingin menjadi lebih tua dari sekarang. Tapi Vaad, dia hanya anak kecil. Namun dia menganggap dirinya dewasa, lalu melakukan hal yang berguna.

" Ar.. Arzalea.." Arka berteriak-teriak membuat lamunanku terpecah.

" Aku disini, Ar." Sahutku yang tak lama kemudian menampakkan batang hidung Arka.

" Woho.." Mata Arka langsung tertuju pada gambaran Vaad. " Gambar fantastik apa lagi yang kau buat?" Tanyanya sembari duduk dipangkuanku. Ku cubit perutnya lalu membuatnya berdiri. Beralih duduk ke lengan sofa disampingku.

" Suatu hari aku ingin membuat buku tentang kalian berdua." Pandangannya melamun tapi penuh keyakinan. Aku bingung, dan untuk memastikan perasaan yang sama aku berpaling memandang Arka yang terlihat sama bingungnya.

" Buku apa?" Pertanyaan Arka mewakili pertanyaanku.

" Buku yang menceritakan kebersamaan kalian. Abang bahkan lebih dekat dengan kakakku dari pada aku." Jawabnya.

Pikiranku sedikit terbuka menatap kenyataan antara aku dan Arka. betapa dekatnya kami?! aku baru memikirkannya sekarang.

" Itu akan jadi buku terbaik sepanjang masa." Gumamku.

AᴥA

Aku, Arka, Lily, dan Vaad berjalan secepat mungkin untuk sampai ke taman bermain anak-anak yang berada dibelakang perpustakaan.

Awalnya Lily enggan ikut mengantar Vaad, namun ketika ku bisikkan padanya Vaad akan menjadi seorang pendongeng, iapun langsung kegirangan.

Vaad masih menggengam buku si Penguin yang comel miliknya dengan erat, bahkan ketika kami sampai ditaman.

Ku perhatikan sekelilingku.. tak ku lihat keramaian sama sekali. Hanya anak-anak kecil dibawah usia 7 tahun tengah asik bermain ayunan, prosotan, dan beberapa permainan lainnya. Bila ada dongeng, seharunya mereka berkumpul disuatu tempat. Tapi aku tidak melihat itu.

" Dimana pendongeng yang kau maksud itu.." tanyaku pada Vaad. Matanya berkeliling mencari. lalu terhenti pada sekumpulan para ibu-ibu.

" Itu dia.." kata Vaad menunjuk ke sebuah bangunan terbuka beratap.

" Biar aku saja yang menemani Vaad, Lea." Potong Lily. Lalu ia menarik tangan Vaad untuk berjalan ke tempa itu.

Aku ditinggal bersama Arka ditepi jalan. Lalu tiba-tiba Arka duduk disebuah kursi panjang yang diteduhi pohon. Aku mengikutinya. Tapi kami sama-sama terdiam menatap kumpulan anak-anak dan para ibu-ibu yang menemani mereka.

Aku sendiri memusatkan pandanganku ke arah Vaad. tapi terpecah ketika mendengar Arka sesekali tertawa tanpa alasan.

Aku menolehnya penasaran. lalu memperhatikan matanya yang menatap anak-anak.

" Aku tak mengerti kenapa anak kecil begitu menyebalkan." Kini aku berhasil menyedot mata Arka memandangku.

" jangan berkata seperti itu." Tanganku dipukul, tapi konyolnya tak terasa sakit sama sekali. "Suatu hari kau akan menjadi Ibu, lalu menjaga anakmu setiap hari." jelasnya.

Pikiranku tiba-tiba ingin membayangkannya, tapi sulit sekali menggambarkan diriku ketika berubah menjadi tua.

" Sulit membayangkannya.."

" Biar aku bantu.." Arka menggeser duduknya mendekatiku.

" Kau akan bertemu dengannya setiap hari; " bisiknya. aku menoleh Arka. penasaran oleh raut wajahnya. " Menyusuinya, ketakutan ketika dia menangis, tertawa ketika ia tertawa.." Mata Arka menampakkan kebahagiaan ketika bercerita. Hatiku damai melihat tatapan itu. Lalu tiba-tiba pikiranku menampakkan diriku tengah menyusui seorang bayi. Lalu ia mengigit puting susuku. Badanku tersengat kaget. serasa ada kesakitan tanpa terjadi sentuhan.

Akupun segera mengalihkan pandanganku dari Arka ke anak-anak yang tak jauh dari kami. Lalu memperhatikan salah seorang anak berbaju hitam tengah mengorek hidungnya dengan jari jemari. Entah apa yang ia pikirkan, beberapa detik kemudian ia memsukan jari bekas korekannya dari hidung ke mulut.

" Itu tidak akan baik." jawabku masih memperhatikan anak kecil tadi. "Mereka bahkan memakan upilnya sendiri." Lanjutku. Arka cekikikan menatapku.

" Mereka pemakan segalanya.." Arkapun bersuara dengan sedikit tawa yang mulai ia kontrol. "Dan itu tugasmu sebagai Ibu untuk mengajarinya yang baik dan buruk." Suara merdunya terdengar jelas.

Aku menoleh ke arah Arka—tak sabar melihat wajah pesonanya yang selalu meluluhkan pemikiranku. Wajahnya sudah datar didampingi senyuman. Ahh lesung pipit itu, tentu menambah wajah malaikatnya semakin elok.

Aku mengubah dudukku menghadap ke arahnya.

" Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya. bertemu mereka setiap hari.. selain mengesalkan." Mataku mulai berkeliling mencari gambaran tentang hal itu.

" Kau akan baik-baik saja." sahut Arka. Lalu aku kembali memandangnya. " Semua wanita ingin mendapatkannya.. Tentu kaupun sama.. tapi hal itu masih tertutupi oleh beberapa sikap kekanak-kanakanmu." Tangan Arka membelai rambutku. Wajahnya penuh lelucon, dengan menampakkan senyum terus menerus.

Aku pernah berpikir Arkalah yang selalu bertingkah kekanak-kanakan, bagaimanapun ia anak terakhir dari dua bersaudara. Sedangkan aku anak pertama dari 3 bersaudara. Seharusnya sudah jelas siapa yang bersikap kekanak-kanakan.

Arka mencondongkan wajahnya lalu menggapai kedua pipiku dengan tangannya.

" Hey, dengar.. Kau akan menikah, melahirkan malaikat mungil, lalu menjadi Ibu." Wajahnya berbinar-binar ketika mengatakan itu. Barangkali ia sudah membayangkan hal tersebut.

" Melahirkan pasti mengerikan."

" Kalau begitu aku akan didekatmu." Kalimatnya penuh dengan harapan. Aku mulai tersenyum. Benar-benar mengharapkannya. " Aku akan menggenggam tanganmu, hingga malaikat mungil itu keluar." Akupun tersenyum dengan begitu banyak harapan yang mulai tertumpuk dalam pikiranku.

" Bila dia laki-laki pasti akan mirip denganmu.." aku melanjutkan harapannya. Membuat lesung pipitnya berkerut semakin jelas. " Memiliki lesung pipit yang sama denganmu." ku sentuh pipinya sekilas.

" Dan bila perempuan pasti akan secantik dirimu." Aku tertawa kecil penuh harapan ketika mimpi-mimpi kami akhirnya saling diungkapkan. Bagiku sendiri.. aku mengatakan dengan penuh ketulusan. Entah bagaimana dengan Arka.

Tangan Arkapun berlalu dari pipiku.

" Jadi kau akan memberinya nama siapa?" pertanyaan Arka membangunkan lamunan-lamunan indahku akan hari esok bersamanya. Aku tertawa bingung.

"Aku bahkan belum memikirkan itu."

" Bila dia laki-laki Bagaimana kalau Arandar."

" Arandar?" ulangku—meminta penjelasan.

" ya.. Ar and Ar. Arka dan Arzalea." Aku menggengam tangannya yang berada diatas pangkuannya. itu terjadi begitu saja, sebagai ungkapan kebahagiaanku.

Ia bahkan sudah memikirkan nama malaikat mungil itu. Apa itu benar? Ia sudah merangkai masa depannya bersamaku? Aku sungguh berharap itu adalah sebuah doa. Karna bila hari esok memang berjalan demikian, Aku akan menjadi gadis paling beruntung didunia. Menikahi Arka; Sahabat, tetangga, sekaligus seseorang yang sudah mengetahui seluk-belukku.. tanpa menginginkan aku menjadi lebih dari aku sekarang.

" itu ide yang bagus." Ku tatap mata indahmya, menerawang pemikiranku yang sudah kelewatan batas sebagai sahabat. Tapi aku tak melihat apapun, selain pancaran kilauan cahaya—semacam berlian dalam bola matanya.

" Bila dia sorang perempuan?" tanyaku membuat kedua mata Arka menatap ke langit-langit.

" A dan A. Adana."

" Arzalea dan Arka?" tanyaku membuatnya mengangguk. " Itu akan jadi nama terbaik." Lanjutku yang hanya Arka respon dengan senyum. Lalu ia menatapku dalam-dalam, nyaris menerbangkan jiwaku. Aku tak mengerti apa yang ku rasakan, rasanya hanya begitu nyaman setiap kali bersamanya. Lalu ketika mendengar mimpi-mimpi masa depan kami, akupun berbunga-bunga bak musim semi telah mengaliri tubuhku.

Kemudian ku alihkan pandanganku ketika menyadari tatapanku kelewatan batas. Lalu ruang dalam otakku yang lainpun mengambil salah satu kesimpulan yang barangkali Arka hanya mengalirkan pembicaraan kami ketika memberi nama malaikat mungil dari perpaduan aku dan dirinya.

Akupun mengubah cara dudukku, kembali menghadap ke depan.

Aku nyaris melamun bermenit-menit menatap kerumunan anak-anak. Termausk Lily yang tengah terduduk menyaksikan Vaad bekomat-kamit didepan anak-anak. Kepalaku diputar-putarkan beberapa hal tentang Arka.

" Arzalea.." tiba-tiba suara Arka gugup. Aku menatapnya kebingungan. "Menurutmu bagaimana cara..?" Ia memandangaku dengan tegang. Aku mentertawakan itu. Lalu iapun menghela nafas panjang. " Maksudku bagaimana cara mencuri perhatian seorang gadis? "

" Apa? bukankah kau masih berpacaran dengan.." Aku tak mampu mengucapkan namanya. Aku hanya cemburu pada gadis itu, Ia bisa mendapatkan hati Arka. Bahkan mungkin mulai menggeser diriku dalam pikirannya.

" Sebenarnya akan berencana memutuskan hubungan kami."

" Bagus." Timpalku butu-butu. Mereka bahkan sudah berpacaran hampir setengah tahun. Tapi baiknya Arka lebih suka mendengar ceritaku dari pada menceritakan pacarnya. Bahkan lebih mementingan aku dari pada pacarnya. Hal itu tak terlalu membuat perbedaan ketika statusnya tidak sendiri lagi.

" Bagus?" Arka kebingungan. Namun senyumnya yang merekah seakan menyukai pendapatku. "Maksudku Bangsat." Ujarku memukul dadanya dengan lembut. Ia malah terkekeh.

Namun aku mulai bertanya-tanya." Memang siapa yang kau sukai?"

" Itu rahasia.. tapi sejujurnya aku sudah menyukainya bahkan sejak pertama melihat senyumnya."

" itu tidak adil."

" maksudnya?"

" ya.. bagaimana bisa kau langsung menyukainya begitu saja?" seharusnya kau menyukai aku yang sudah bersamamu begitu lama. Hidup sungguh tak adil.

Bila saja aku mampu melanjutkan kalimat tersebut.

Aku bahkan tak tahu perasaanku sendiri pada Arka. Aku hanya merasa hidup, merasa nyaman, merasa bagai aku satu-satunya yang ia utamakan. Ku rasa perasaan ini lebih dari sekedar suka.. aku bahkan cemburu ketika mengetahui Arka tengah menjalin hubungan dengan yang lain.

Apa sebenarnya ini?
Kenapa aku begitu aneh sekarang.

"Entahlah.. aku hanya menyukainya.." Ku pandang mata jujur itu. rasanya aku ingin meluncur ke otaknya saja, lalu merusak file-file tentang gadis tersebut.

" Bangsat." Perasaanku benar-benar kesal. Kini ketika Arka berniat memutuskan pacarnya, Dia bahkan sudah memiliki incaran gadis lain lagi. Kapan aku memiliki celah untuk merasuki hatinya? Lalu mengatakan padanya bahwa aku tidak suka ketika ia bersama gadis lain. Dan aku bahagia bersamanya.

" Jadi baagaimana caranya membuat dia menyukaiku, minimal mengetahui perasaanku?" Aku mulai menoleh ke Arka. Menatap mata jernihnya yang nampak terang benderang.

" Kau harus mengatakannya." suaraku sudah tak bertenaga.

" Bahkan ketika kau tahu dia tidak menyukaimu?" suaranya heran.

" Siapa gadis bodoh itu? bagaimana bisa dia tidak menyukaimu?" Bila aku mampu menambahkannya.. Aku ingin bilang betapa beruntungnya gadis itu bisa mengambil hatinya. Tapi aku tak kuasa melanjutkan ucapanku.

Seharunya semua gadis menyukai Arka. Dia terlalu sempurna untuk ditolak. Dia mengetahui seorang gadis dengan sangat baik. Bahkan selalu memenangkan kekesalanku dengan pesona senyumnya.

Perlahan aku mengerti.. AKU MENYUKAI ARKA. Aku sangat-sangat menyukainya. wow, bagaimana bisa aku baru menyadari itu setelah sekian lama?

" Akupun tidak mengerti, apa yang gadis itu pikirkan." Arka mengangkat kedua pundaknya.

Aku merenung menatapnya. lalu berpikir sesuatu..

"Sejujurnya itu agak sulit." tiba-tiba aku mendapat kesepakatan.

Arka mendekatkan duduknya— mencondongkan kepalanya lebih dekat. " Membuatnya menyukaimu, memerlukan waktu yang lama." itulah yang terjadi padaku bila mengharapkan Arka menyukaiku. "Kau mungkin akan memakan waktu bertahun-tahun." Lanjutku sedih. Bahkan 3 tahun bersamakupun tak cukup membuatnya menyukaiku.

" Jadi bagaimana caranya?" ia masih penasaran.

" Pertama.. kenali dirinya!"

" dia mengenalku."

" Kalau begitu buat dia memandangmu berbeda. Seperti.. satu-satunya yang terbaik. Satu-satunya yang akan membuat perasaannya ketagihan setiap kali bersamamu.." Terlalu panjang kalimat yang ku ucapkan, hingga membuat mulutku tarasa penuh air liur.

" Ku rasa aku sudah melakukannya.." aku mengangguk sembari menelan air liurku.

" Kalau begitu tunjukan padanya, bahwa kau adalah sebagian darinya. Seperti jiwanya yang memang diciptakan untuknya." Tanganku bergerak berusaha menguraikan apa yang ku pikirkan.

" Bagaimana caranya?" Tuntutnya.

"Buat dia mengerti bahwa kau selalu ada untuknya.. kapanpun dia memerlukanmu." Arka mulai tersenyum. Lalu mengangguk. " Tapi ada saatnya.. ketika kau menangkap perasaannya peduli terhadap dirimu.. ujilah dia.. Kau harus bertingkah sedikit tidak memperdulikannya beberapa waktu, atau menghabiskan waktumu dengan gadis lain.."

" kenapa seperti itu?"

" Karna ada kemungkinan gadis itu hanya kasihan padamu.. Jangan sampai salah mengartikan perasaan seseorang.. atau tingkah baiknya. Semua gadis menggunakan perasaan untuk bertindak.. berbeda dari laki-laki." Arka mengangguk sembari memperhatikan rerumputan dibawah kami. Tapi pandangannya melamun.

" Kau perlu waktu yang cukup lama, untuk membuat gadis itu menyukaimu." Gumamku. " Tapi kau tak akan menyia-nyiakan waktumu sepanjang itu bukan? Kau bahkan memiliki banyak kenalan gadis-gadis cantik." Sejujurnya kalimat itu menjadi harapan tersendiri untukku—Untuk dapat masuk ke celah-celah hatinya.

Arka terdiam memandangi mataku. Nampaknya pendapatku tidak membuatnya risau.

" Aku akan menunggunya! bahkan meski untuk waktu yang disebut selamanya." Jawaban Arka mulai meresap dalam pikiranku. Lalu membekukan segala sistim pergerakan. Keadaan tak berdaya disana. Kesakitan merambat ke seluruh tempat. Bahkan nyaris menyulitkanku bernafas.

Akupun mulai memberi kesimpulan bawah Aku tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menjadi lebih dari seorang sahabat.

" Tidak ada yang akan melakukan itu!" aku menggeleng menatap Arka. Sekali lagi membuat permohonan lewat mataku. Namun mata jernihnya yang berkilau menyangkal. Lalu dengan tulus ia mengungkapkan pikirannya.

" Aku berbeda. Aku akan membuatnya melihat bahwa akulah orang itu."

" Dia pasti gadis yang sangat cantik." Aku berusaha bersikap wajar. Namun serangan bertubi-tubi dari tatapan mata Arka yang memperlihatkan betapa ia mengasihi gadis yang masih ia rahasiakan itu.

"Ya." Jawab Arka penuh serangan. Seakan memusatkan seluruh persedian senjata yang ia miliki untuk menghancurkan hatiku. Entah kenapa kesedihan itu begitu menyesakkan dadaku. Bahkan aku mulai dapat merasakan aliran pembuluh darahku. Lalu mereka membeku, menjadi hitam pekat. mungkin beginilah rasa sakitnya.

" Hei.. kau kenapa, Ar? kenapa kau menangis?" Arka menyentuh pipiku—Berusaha mengeringkan air yang mengalirinya. Aku bahkan tak menyadari bagaimana air mataku muncul.

" Kau tidak apa-apakan, Ar?" Sekali lagi Arka bertanya. Menekan bilah-bilah otakku untuk dapat berpikir.

" ya.." aku mengangguk dengan heran pada diriku sendiri.

" Kau menangis?" tangan Arka masih dibawah mataku. menyeka butiran air yang tak bisa berhenti.

" Tidak.. aku tidak.." Jawabku menggerakkan tanganku menghapus air mataku sendiri. Ketika ku rasakan tanganku basah, aku baru menyadari kalau air mataku benar-benar nyata " mungkin kemasukan pasir." Aku membohonginya. Lalu membuatnya merengkuh wajahku.

Ia berusaha keras mengeluarkan pasir khayalan yang ku akukan. Pandangannya gelisah. gerakannya ceracam. Seperti.. Ia akan melakukan apapun agar aku baik-baik saja. Tapi sebagai seorang sahabat. bukan hal yang mulai ku harapkan sekarang.



Share:

0 komentar