Pohon tumbang dalam musim gugur
Dedaunan terjatuh tak berdaya mengikuti gerakan angin, mereka tidak tahu dimana akan berhenti. tapi dimanapun itu, mereka telah gugur.
Apa yang akan kembali setelah gugur?
Tidak ada.
Kenangan satu-satunya yang tersisa.
Tapi kita memiliki kesempatan sebelum dedaunan yang lain gugur.
Ini bulan pertama ayah meninggalkan kami. Tentu hutangnya.. akupun sudah memikirkan itu. Itu sebabnya aku menyerahkan celengan pinguinku pada mum. Tentu ia bersedih.. mum bahkan berniat menjual mobil tua untuk membayar angsuran hutang ayah beberapa bulan ke depan. Tapi sikap Ridwan membuatku tersentuh. Ia berniat membayarkan hutang ayah untuk bulan ini.. Lalu bulan selanjutnya barulah dibagi menjadi dua. Antara mum dan Ridwan. Bagaimanapun uang Ridwan dari hasil distronya tidak bisa diambil seluruhnya begitu saja. Bisa-bisa modal pokoknya ikut habis.
Akhirnya mobil ayah tidak jadi jual.Ridwan pikir kami akan memerlukan mobil itu, bila akan berkunjung ke tempatnya yang cukup jauh untuk menjenguk Lily.
Aku tidak bisa seperti ini. Bagimanapun hutang-hutang ayah adalah tanggung jawabku. Maka dari itu.. kini akupun memutuskan bekerja. Hanya beberapa hari saja setelah aku membuat keputusan, aku mendapatkan pekerjaan. Itupun atas bantuan Vim.
Memang.. ini bukan pekerjaan yang ku harapkan, setidaknya menjadi pelayan restoran bisa membantu sebagaian hutang ayah.
Mum ingin aku tetap kuliah, ia bahkan memintaku tak usah memikirkan hutang ayah lagi. Tapi tentu saja aku tidak bisa seperti itu. Akupun terpaksa membohonginya dengan berpamitan kuliah, namun malah menjadi pelayan untuk bekerja. Ku harap Tuhan tidak menganggap serius ucapan itu, bagaimanapun aku berbohong untuk kebaikan.
Mum ingin aku tetap kuliah, ia bahkan memintaku tak usah memikirkan hutang ayah lagi. Tapi tentu saja aku tidak bisa seperti itu. Akupun terpaksa membohonginya dengan berpamitan kuliah, namun malah menjadi pelayan untuk bekerja. Ku harap Tuhan tidak menganggap serius ucapan itu, bagaimanapun aku berbohong untuk kebaikan.
Aku hanya tidak bisa melihat mum memikul beban berat itu sendirian.
Seperti kemarin..
Seperti kemarin..
Beberapa kali sembari
melayani pelanggan aku menengok jam klasik ditengah dinding. Berharap
segera pukul 3, lalu aku akan segera pulang. Tapi waktu tak secepat
itu.. rasanya setiap detiknya bila aku ditempat ini berjalan melambat.
Malah terkadang membawa pikiranku melayang.. membayangkan Arka dan Arka.
Tentu Arkapun tak tahu, sekarang aku bekerja bukan kuliah. Aku hanya
tak ingin membuatnya sedih. Ia pasti memaksaku untuk tetap kuliah,
berharap mimpiku akan tercapai.
" Pelayan.." panggil laki-laki cerewet itu lagi. Ia sudah memanggilku lebih dari 3 kali sejak kedatangannya. Pertama ia mengeluh padaku akan taplak meja yang diujungnya sobek sekitar dua centi. Ku pikir setelahnya ia akan memesan makanan.. tapi aku salah. Ia masih menunggu temannya. Kedua.. ia mengeluh tentang menu makanan yang kebanyakan diisi oleh deretan daging. Ia bercerita padaku bahwa ia adalah seorang Vegetarian, padahal aku tidak bertanya. Lalu iapun memesan minuman. Sedangkan makananya masih dipikirkan. Ketiga.. kurang dari dua menit.. Ia memesan makanan. Dan terakhir kali ia memanggilku.. ia hanya ingin memastikan pesanannya telah diproses. Dan kini.. apa lagi? Akhhh..
Aku sudah biasa oleh bermacam-macam orang. Ada yang minta pesanannya segera disiapkan secepat kilat, ada yang ramah, ada yang jutek, bahkan ada yang selalu senyum-senyum sendiri setiap melihatku. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai tipe orang. Dan tipe-tipe seperti itu menurutku normal. Semuanya orang memiliki gaya.. semua orang memiliki hak. Jadi aku pikir.. tugasku hanya menghormati sikap orang tersebut dengan bertingkah sama.
" ya.. Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyaku setelah didekat Pria gagah berisi itu, kini ia sudah bersama temannya yang memiliki lesung pipit. Aku selalu berpikir seseorang dengan lesung pipit itu manis, Tapi kini.. aku berubah pikiran. Lesung pipit manis, karna Arka yang memilikinya. Selain itu.. bagiku.. mereka sama saja seperti kebanyakan.
" Hey.. apa kau tahu plafon jenis apa yang bossmu gunakan untuk langit-langit restoran ini?" tanyanya sembari menunjuk ke atas. Mataku mulai bergerak. Plafon itu lagi.. sudah banyak yang bertanya. Plafonnya terbilang unik, bermotif bunga mawar yang melengkung-lengkung, ditengahnya terdapat lampu cantik yang berbentuk lonjong menjuntai berhadapan dengan setiap meja yang diatur di restoran ini.
" Maaf aku tidak tahu!" Jawabku menyesal. Sudah beberapa kali jawaban itu ku lontarkan kepada setiap pelanggan yang bertanya tentang plafon. Aku tak pernah berniat menanyakannya pada bossku yang super perhitungan itu. Aku tak mau memposisikan diriku terjebak berbincang dengannya. Tetang apapun itu.
" oh.. apa kau tidak keberatan untuk menanyakannya pada bossmu? aku perlu dekorasi untuk toko bukuku." Pandangannya penuh harap. Aku tak tega berkata tidak, lalu mengangguk dengan enggan.
"akan ku usahakan.." jawabku.
" Sebenarnya plafon itu sejenis.." Ku dengar jelas suara itu, rasanya berada dibelakangku.
" Pelayan.." panggil laki-laki cerewet itu lagi. Ia sudah memanggilku lebih dari 3 kali sejak kedatangannya. Pertama ia mengeluh padaku akan taplak meja yang diujungnya sobek sekitar dua centi. Ku pikir setelahnya ia akan memesan makanan.. tapi aku salah. Ia masih menunggu temannya. Kedua.. ia mengeluh tentang menu makanan yang kebanyakan diisi oleh deretan daging. Ia bercerita padaku bahwa ia adalah seorang Vegetarian, padahal aku tidak bertanya. Lalu iapun memesan minuman. Sedangkan makananya masih dipikirkan. Ketiga.. kurang dari dua menit.. Ia memesan makanan. Dan terakhir kali ia memanggilku.. ia hanya ingin memastikan pesanannya telah diproses. Dan kini.. apa lagi? Akhhh..
Aku sudah biasa oleh bermacam-macam orang. Ada yang minta pesanannya segera disiapkan secepat kilat, ada yang ramah, ada yang jutek, bahkan ada yang selalu senyum-senyum sendiri setiap melihatku. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai tipe orang. Dan tipe-tipe seperti itu menurutku normal. Semuanya orang memiliki gaya.. semua orang memiliki hak. Jadi aku pikir.. tugasku hanya menghormati sikap orang tersebut dengan bertingkah sama.
" ya.. Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyaku setelah didekat Pria gagah berisi itu, kini ia sudah bersama temannya yang memiliki lesung pipit. Aku selalu berpikir seseorang dengan lesung pipit itu manis, Tapi kini.. aku berubah pikiran. Lesung pipit manis, karna Arka yang memilikinya. Selain itu.. bagiku.. mereka sama saja seperti kebanyakan.
" Hey.. apa kau tahu plafon jenis apa yang bossmu gunakan untuk langit-langit restoran ini?" tanyanya sembari menunjuk ke atas. Mataku mulai bergerak. Plafon itu lagi.. sudah banyak yang bertanya. Plafonnya terbilang unik, bermotif bunga mawar yang melengkung-lengkung, ditengahnya terdapat lampu cantik yang berbentuk lonjong menjuntai berhadapan dengan setiap meja yang diatur di restoran ini.
" Maaf aku tidak tahu!" Jawabku menyesal. Sudah beberapa kali jawaban itu ku lontarkan kepada setiap pelanggan yang bertanya tentang plafon. Aku tak pernah berniat menanyakannya pada bossku yang super perhitungan itu. Aku tak mau memposisikan diriku terjebak berbincang dengannya. Tetang apapun itu.
" oh.. apa kau tidak keberatan untuk menanyakannya pada bossmu? aku perlu dekorasi untuk toko bukuku." Pandangannya penuh harap. Aku tak tega berkata tidak, lalu mengangguk dengan enggan.
"akan ku usahakan.." jawabku.
" Sebenarnya plafon itu sejenis.." Ku dengar jelas suara itu, rasanya berada dibelakangku.
Mata pria cerewet itupun mulai beralih dariku. Akupun penasaran, lalu menengok ke belakang.
" Hahaaa..." potong si cerewet cekikikan. Sontak suara tawanya menghentikan kalimat yang akan pria dibelakangku katakan.
Pria dibelakangku itu.. memakai celana coklat tua. Dengan kemeja merah tua yang dipadukan dengan suspenders. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi. Dalam pikiranku malah terbesit Jack Dowson di film Titanic. Tapi versi seorang pria dewasa. Dikarnakan ia memiliki jenggot tipis. Terlebih badannya pun lebih berisi dari si jangkung Jack. Entah darimana persamaan itu muncul.. hanya.. suspenders pria itu membuatku teringat jack.
" pencinta jadul sepertimu mana mungkin mengetahuinya.. " Seru Pria cerewet sembari tertawa tergelak-gelak. Seakan meremehkannya.
" Hahaaa..." potong si cerewet cekikikan. Sontak suara tawanya menghentikan kalimat yang akan pria dibelakangku katakan.
Pria dibelakangku itu.. memakai celana coklat tua. Dengan kemeja merah tua yang dipadukan dengan suspenders. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi. Dalam pikiranku malah terbesit Jack Dowson di film Titanic. Tapi versi seorang pria dewasa. Dikarnakan ia memiliki jenggot tipis. Terlebih badannya pun lebih berisi dari si jangkung Jack. Entah darimana persamaan itu muncul.. hanya.. suspenders pria itu membuatku teringat jack.
" pencinta jadul sepertimu mana mungkin mengetahuinya.. " Seru Pria cerewet sembari tertawa tergelak-gelak. Seakan meremehkannya.
Aku terheran-heran oleh perkataannya, lalu kembali memandang wajah si cerewet yang masih menikmati hinaannya pada yang lain.
Gaya jadul? Aku tak mengerti darimana asalanya sebutan itu muncul. Apa hanya karna pria tadi tak memakai celana pensil, jadi si cerewet menyebutnya gaya jadul?
" perbaiki saja cara pakaianmu.." iapun meledak, melanjutkan tertawanya yang keras bersama temannya berlesung pipit tadi.
Aku penasaran oleh ekspresi pria jadul itu. Lalu akupun menengoknya kembali. Si pria jadul hanya terdiam, memandang sepatu hitamnya. Ia terlihat tengah meresapi ucapan si cerewet seumurannya itu. Ia pasti sedih sekali dijadikan bahan lelucon yang bahkan ia sendiri tak berniat melucu.
Aku kembali menatap kedua pria yang masih terkekeh itu.
" kau tidak boleh berkata seperti itu." Pekikku. Lalu mendadak tawa mereka terhenti. Memandangku sinis atau pandangan lainnya berkaitan oleh ketidak sukaan.
" apa maksudmu?" sergahnya.
" itu gaya pakaiannya! semua orang memiliki gaya pakaian masing-masing.. ku rasa pembohong paling nyata didunia adalah menilai seseorang dari penampilannya." Si cerewet menyiyipkan matanya. Lalu tertawa.
" Lihat pria itu.. dia menggunakan gaya Ayahnya." Katanya sembari menoleh ke temannya. Lalu tawa itupun kembali meramaikan suasana menyebalkan ini.
" Bisakah kau berhenti tertawa! Itu menjijikan!" teriakku. Tentu mendadak suara tawanyapun berhenti. " kalian berdua.." tanganku sudah menunjuk-nunjuk, kemarahanku menggelora.
" kau tak perlu membelaku, aku sudah terbiasa!" Pria itu memotong ucapanku. Aku hanya menolehnya sekilas. " mereka harus diperingati!" tegasku. Tiba-tiba aku lupa dengan kalimat-kalimat yang membuatku marah.
" sampai dimana tadi ?" kalimat itupun keluar begitu saja. Tiba-tiba akupun ingat. " Oh ya.. kau menghina gayanya!" ulangku.
" jadi apa yang salah dari itu? Apa yang salah dengan gayanya?" Pekikku. " Semua orang memiliki hak untuk melakukan apa yang ia sukai. Termasuk gaya berpakaian. Mereka bebas menggunakan bermacam-macam gaya, meskipun tak bergaya, atau dengan gaya asal-asal.." Tangankupun bergerak mengikuti alunan kalimat yang ku ucapkan. " Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu untuk digunakan orang lain." Suaraku sudah datar. Pria itupun menatapku garang, sama seperti ketika melihat anjing mengongong yang membuatnya terjebak di atas pohon.
" Kau seharunya belajar menghargai pilihan seseorang." Ku ucapakan per kata agar pria itu dapat memahami maksudku. Namun malah di respon dengan gelengan. " Bila kau tidak bisa, seharusnya kau tidak hidup di kota." Lanjutku dengan sengit. Tatapannya pun pecah. Lalu tiba-tiba mendobrak mejanya.
" Aku tak lapar lagi." Bentaknya yang kemudian meninggalakan meja makan begitu saja. Temannyapun segera menyusul dari belakang.
Aku tak menyesal membela pria jadul itu, meskipun setelah ini aku akan berhadapan dengan seseorang yang lebih cerewet, yang barangkali kemungkinan buruknya aku dipecat. Bila tidak dipecat, mungkin kerjaku sehari-hari tak akan dapat bayaran.
" Hei.." Pria yang ku bela menyapaku. Merobohkan pemikiran burukku. "Terimakasih sudah.." ia bingung menyebut pembelaanku tadi, bagaimanapun kami tak saling mengenal. Untuk meringankan otaknya yang kebingungan berpikir, akupun menggeleng.
" Tapi seharusnya kau tidak melakukan itu!" ia menggeleng didampingi senyumnya yang merekah.
" Tidak.. tidak.. aku harus melakukannya! Dia harus belajar menghormati pilihan seseorang!" ujarku. " itulah hal terpenting untuk hidup didunia ini." Ku tatap dengan tajam matanya untuk meyakinkan maksudku. Entah apa yang ia mengerti.. atau barangkali sikapku malah terlihat aneh untuknya. Pelayan mana yang mau mengusir pelanggan untuk sebuah gaya? Tapi dengan sadarnya aku mengerti betul bahwa menghargai pilihan orang lain adalah keputusan terbaik.
Hanya beberapa detik ketika ku tengok arah kiriku, Ku lihat Hidayah mendekati meja tempatku berdiri sembari membawa pesanan makanan. Akh.. sial! Siapa yang akan memakan pesanan itu?
" Mereka kemana?" Hidayah tercengang. Aku hanya menghembuskan nafas, lalu duduk dikursi bekas pria cerewet tadi.
Bagaimana kiranya aku akan menjelaskan ini pada bossku? Ia pasti akan meminta ganti rugi akan kejadian ini, untuk makanan yang dipesan tanpa dibayar.
" Tidak.. tidak.. aku harus melakukannya! Dia harus belajar menghormati pilihan seseorang!" ujarku. " itulah hal terpenting untuk hidup didunia ini." Ku tatap dengan tajam matanya untuk meyakinkan maksudku. Entah apa yang ia mengerti.. atau barangkali sikapku malah terlihat aneh untuknya. Pelayan mana yang mau mengusir pelanggan untuk sebuah gaya? Tapi dengan sadarnya aku mengerti betul bahwa menghargai pilihan orang lain adalah keputusan terbaik.
Hanya beberapa detik ketika ku tengok arah kiriku, Ku lihat Hidayah mendekati meja tempatku berdiri sembari membawa pesanan makanan. Akh.. sial! Siapa yang akan memakan pesanan itu?
" Mereka kemana?" Hidayah tercengang. Aku hanya menghembuskan nafas, lalu duduk dikursi bekas pria cerewet tadi.
Bagaimana kiranya aku akan menjelaskan ini pada bossku? Ia pasti akan meminta ganti rugi akan kejadian ini, untuk makanan yang dipesan tanpa dibayar.
Daripada makanan
didepanku sia-sia.. bagaimanapun aku juga nantinya yang akan menanggung
ganti ruginya. Jadi.. ku makan saja dengan rakus. Bahkan seakan hanya
memasuk-masukan makanan itu ke mulut tanpa nafsu ingin makan sama
sekali.
" Lea.. pelan-pelan!" Hidayah yang duduk didepanku pun menegur tingkah kerakusanku.
" Lea.. pelan-pelan!" Hidayah yang duduk didepanku pun menegur tingkah kerakusanku.
Hanya beberapa menit
belalu.. tiba-tiba salah satu pelayan memberitahuku bahwa aku telah
ditunggu Boss Mawar di ruangannya. Ia pasti sudah melihat tingkahku dari
CCTV. Lalu berkata bahwa gajiku bulan ini akan dipotong untuk membayar
makanan yang ditinggalkan pelanggannya itu.. atau.. aku langsung dipecat
tanpa diberi gaji bulan ini.
Dengaan kesal.. akupun meninggalkan meja tanpa menjelaskan yang sebenarnya pada Hidayah.
Terkadang aku bertanya-tanya kenapa aku bekerja pada orang pelit? Kenapa seperti ini rasanya bekerja pada seseorang? Menyebalkan.. menyebalkan.. menyebalkan..
Dengan gugup akupun mendatangi ruangan bossku yang berada dilantai atas. Bossku sudah berumur. Namun penampilannya masih tak mau kalah dengan penampilan anak-anak seusiaku. Ku rasa ia mulai pikun dengan umurnya. Lagi pula, Ia terlalu cerewet untuk seorang wanita setua dirinya.
" Kenapa kau mengusir pelanggan-pelangganku?" omelnya. Bahkan ketika aku baru membuka pintu masuk ke ruangannya.
" aku tak mengusir mereka.. hanya sjaa.." Sulit sekali menjelaskan kebenarannya. Harus dimulai dari mana?
Lalu akupun duduk tanpa dipersilahkan.
" hanya apa?" tuntutnya.
" Aku tahu ini bukan masalahmu.. Mereka menghina seseorang hanya karna pakaiannya.. padahal setiap orang memiliki gaya! Dan dia punya hak untuk memilih gaya itu." Bela ku. Entah penawar apa yang menguasai pikirannya, tiba-tiba tatapan garangnya berubah ke senyuman.
" Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu.." Jawabnya singkat sembari menunjuk pintu keluar.
Dengaan kesal.. akupun meninggalkan meja tanpa menjelaskan yang sebenarnya pada Hidayah.
Terkadang aku bertanya-tanya kenapa aku bekerja pada orang pelit? Kenapa seperti ini rasanya bekerja pada seseorang? Menyebalkan.. menyebalkan.. menyebalkan..
Dengan gugup akupun mendatangi ruangan bossku yang berada dilantai atas. Bossku sudah berumur. Namun penampilannya masih tak mau kalah dengan penampilan anak-anak seusiaku. Ku rasa ia mulai pikun dengan umurnya. Lagi pula, Ia terlalu cerewet untuk seorang wanita setua dirinya.
" Kenapa kau mengusir pelanggan-pelangganku?" omelnya. Bahkan ketika aku baru membuka pintu masuk ke ruangannya.
" aku tak mengusir mereka.. hanya sjaa.." Sulit sekali menjelaskan kebenarannya. Harus dimulai dari mana?
Lalu akupun duduk tanpa dipersilahkan.
" hanya apa?" tuntutnya.
" Aku tahu ini bukan masalahmu.. Mereka menghina seseorang hanya karna pakaiannya.. padahal setiap orang memiliki gaya! Dan dia punya hak untuk memilih gaya itu." Bela ku. Entah penawar apa yang menguasai pikirannya, tiba-tiba tatapan garangnya berubah ke senyuman.
" Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu.." Jawabnya singkat sembari menunjuk pintu keluar.
Apa? hanya itu? aku
merasa ada sesuatu yang ganjil. Padahal biasanya ia akan mengomel
berjam-jam. Jangankan itu.. hanya karna ada pelanggan yang protes,
makanannya kurang hiasan cabe goreng saja (rencananya ia akan memotret
makanan itu untuk dibagikan di media sosial pribadinya) Mulutnya
berbicara sampai berbuih. Lalu membuat si koki menyerah, dan akhirnya
pindah pekerjaan.
Tags:
Tertanda
0 komentar