c | Mimpi Aneh | Journey To Northen Light

Mimpi Aneh

Entah kenapa.. dunia berjalan begitu cepat. Bagai gelombang lautan yang setiap detiknya datang pergi begitu saja. Tapi aku termasuk yang beruntung, Ketika menyadari Arka bagai genangan air laut yang tak pernah habis membasahi butiran-butiran pasir disekitarnya.

Aku dan Arkapun segera lulus dari SMP.

Arka mengajakku masuk ke SMA 19 —SMA terbaik dikota ini. Tapi aku tidak lulus tesnya. Sisi baiknya orangtuaku tak harus mengeluarkan uang terlalu banyak. Merekapun menyarankanku untuk masuk ke SMA 12. Meski tak mendapatkan sertifikat sekolah terbaik, tetap saja sekolah itu salah satu yang terbaik. Dan sekali lagi tak dapat satu sekolah dengan Vim.
Kini sekolahku sudah berjalan dua tahun. Aku kelas 3 SMA. Bagaimana aku bisa mempercayai hal itu berjalan secepat ini? Rasanya baru minggu lalu aku pindah ke negeri antah berantah, yang mempertemukanku dengan seorang pangeran setampan Arka. Lalu tiba-tiba musim telah berlalu begitu cepat, melewati bunga-bunga yang mekar, lalu layu, dan berganti ke bunga baru dengan paras cantik yang aromanya lebih wangi.

Meskipun aku masuk ke sekolah yang berbalik arah dari sekolah Arka. Hari-hariku seutuhnya masih dihiasi olehnya. Ia masih menceritakan hal-hal konyol yang selalu ia ceritakan padaku sejak kami saling melengkapi. Ia tak pernah berhenti mengunjungi rumahku. Meski hanya untuk sekedar memintaku merapikan dasi sekolahnya. Makan siang bersama. Atau menyebalkannya merapikan kamarnya yang super berantakan (Aku terpenjara berjam-jam dikamar Arka setiap hari.) atau hanya sekedar merebahkan badannya di tempat tidurku. Lalu menceritakan semua hal yang terjadi padanya hari ini.

" Haahaaahaa.." aku lupa apa yang membuatku tertawa. Yang jelas aku selalu bahagia didekat Arka. Seakan waktu berlalu melintasi kehidupanku begitu saja tanpa sempat ku tengok.
Bunyi instrumen mulai menelusuri gendang telingaku. Sekonyong-konyong tangan kanan Arka menutup mulutku yang masih tertawa terkekeh-kekeh. Tawa itupun mulai ku kontrol ketika aroma tubuhnya meresap dalam udara yang ku hela.

" Hei.. dialmlah beberapa saat.. aku ingin kau mendengarkan lagu kesukaanku." Aku yang masih ingin tertawapun, hanya bisa tersenyum sembari berkedip jail.

Suara mulai terdengar. Meski ini lagu lama —bahkan dirilis ketika kami masih anak ingusan. Tapi ini satu-satunya lagu yang selalu Arka putar disampingku.
Aku ingin menjadi.. mimpi indah.. dalam tidurmu..
Aku ingin menjadi.. sesuatu.. yang mungkin bisa kau rindu..
Akupun mulai menikmati lagu Dealova yang dinyanyikan Once. Kalimatnya meresap ke dalam pikiranku, hingga menampakan bayangan Arka yang raganya berada disampingku. Hal itupun membuatku menengoknya sekilas. Tapi mengejutkan iapun tengah memandangku dengan tatapan mata memikat. Aku buru-buru berpaling, takut terjatuh terlalu jauh dalam pandangan itu.
Bila aku mendapat kesempatan itu.. tentu aku ingin sekali menjadi mimpi indah Arka. Dia perlu mimpi-mimpi indah untuk menggeser mimpi anehnya yang menakutkan.

4 menit berlalu.. kami saling mencuri pandang seperti baru bertemu beberapa jam lalu. Ini saat-saat terkonyol dalam hubungan kami. Barangkali lebih tepatnya canggung tak jelas. Anehnya.. sesekali jantungku yang berdetak kencang membuat melodi malah mengiringi lagu kesukaan Arka berputar.
Tiba-tiba senyap. Nyanyian berakhir, instrumen selesai, dan lagu sudah berhenti. Aku masih ragu menengok wajah Arka. Bagaimanapun perasaan yang berkecamuk dalam pikiranku masih sulit diatasi. Kecanggungan ini seharusnya tak berlangsung lama. apalagi kami sudah bersama setiap hari.

" kau tak akan percaya apa yang ku mimpikan tadi malam!" Tiba-tiba Arka bersuara setelah sekian detik hanya memandangi langit-langit kamarku. Akupun memiringkan badanku, menghadap ke Arka. Berusaha bersikap wajar.

" Apa?" Aku menuntutnya bercerita. Lalu Arka ikut mengubah tidurnya menghadap padaku. Dengan menumpuhkan kepalanya diatas tangan kirinya yang ditekuk. Oh.. Tuhannn betapa indahnya tatapan mataitu.

" Aku bermimpi menjadi Drakula.. Lalu dengan terpaksa mengigit lehermu." Ceritanya membubarkan lamunanku. Lalu membuatku terkekeh. Ini salah satu alasan kenapa aku ingin menjadi mimpi indahnya. Nyaris semua orang yang telah mendengar mimpinya tertawa konyol. Bahkan tak jarang ada yang menganggapnya berkhayal. Tapi aku selalu percaya ia tak pernah berbohong akan semua yang ia katakan. Karna aku mengenalnya tidak dari kejauhan. Bahkan dapat ku rasakan setengah jiwanya yang merasuki tubuhku—Aku mengenalnya lebih dari siapapun.

Dan ini tentang mimpi anehnya yang semula bunga tidur berubah ke bunga-bunga melelahkan. Setiap malamnya bagai dihantui oleh mimpi-mimpi tak biasa itu. Terkadang Arka ingin menjadi dirinya di dalam mimpinya, yang memiliki kehidupan sama seperti kenyataan. Tapi pikirannya yang berimajinasi tak pernah mau bersepakat. Arka nyaris tak penah menjadi dirinya ketika berkelana dalam tidur nyenyaknya. Ia selalu seakan hidup dalam kehidupan berbeda.

Heh.. Mimpi aneh itu lagi yang memenuhi pikirannya.
Empat hari yang lalu.. iapun bermimpi aneh masuk ke dalam dongeng, lalu membuatnya bermimpi menjadi seorang Pangeran yang sedang menerima mahkota. Seminggu sebelumnya.. ia bermimpi sebagai Koboi. Arka bilang.. ia memiliki kuda coklat yang gagah dengan kekuatan tak terkalahkan.
Aku sudah terbiasa mendengar mimpi-mimpinya yang seperti ini. Itu tak terlalu aneh untukku, Meski ia masih menyebutnya mimpi aneh.
Arka telah menceritakannya bahkan sejak kami baru mengenal satu bulan. Dan Setelah itu.. Ia selalu membagi kisah mimpinya padaku.

" Kau drakulanya?" Sejujurnya aku tak terlalu heran. Tapi aku masih tak mengerti "kenapa aku yang kau gigit?" Pertanyaanku membuat matanya berputar ke atas. lalu menatapku.

" Aku berniat menciummu.. maksudku.." Matanya mendadak berpaling dariku, seakan menunjukan bahwa ia tengah kelepasan bicara; Ahk cerobohnya aku. " Sejujurnya mimpiku..." tiba-tiba ia gugup menatap langit-langit kamarku dengan tegang. Membuat kalimat yang ia siapkan tertahan dalam pikirannya.

" Kau bermimpi liar tentang aku?" sahutku memotong pergerakan anehnya. Lalu mata Arka memandangku sekilas, sembari mengangkat kedua alisnya. " Sejujurnya hanya beberapa kali." Matanya tak mau memandangku lebih dari sedetik.

" jangan bilang aku telanjang dalam mimpimu?" ku pukul pundaknya dengan kesal. Malah membuat Arka ternganga, lalu berkedip jail.

" Kau tahu bagian teranehnya ketika aku mendekatkan bibirku ke lehermu?" Aku menggeleng bingung. " Kulitmu berbau seperti ice cream rasa nangka." Lanjutnya membuatku tertawa konyol.

" Apa itu yang membuatmu mengigit leherku? " Tanyaku ditengah keheranan yang masih membuatku terkekeh.

" aku tidak yakin." Jawabnya ragu-ragu.

" Jadi.. bagaimana rasanya?" Arka menggeleng, matanya berputar ke sudut. " Aneh. Nyaris seperti rasa susu yang di campur daun sirih. Tak berasa seperti ice cream sama sekali." Jelasnya menelan ludah. Aku terbahak-bahak mendengarnya—Melihat wajah menggemaskannya.

" siangnya pasti kau menonton film Drakula." Tebakku.

" tidak.. tapi beberapa waktu lalu Wulan membeli beberapa patung drakula untuk dihadiahkan ke temannya. " Kini terjawab sudah kemungkinan besar yang membuatnya bermimpi menjadi Drakula.

" Tak masalah kau sudah terbiasa memerankan tokoh-tokoh dongeng dalam mimpimu. " Ku elus pipi Arka sejenak lalu mengubah tidurku menghadap ke langit-langit kamar kembali.

Beberapa saat hening menyihir. Pikiranku dibawa pada mimpi-mimpi Arka sebelum hari ini. Lalu terpikirkan mimpi masa depan Arka yang mulai ku terka dalam pikiranku.

" Apa kau pernah membayangkan mimpimu selanjutnya?" Tanyaku yang tak memiliki jawaban. Tapi kini pikiranku malah berkhayal membayangkan Arka menjadi seorang Drakula dengan jubah hitam panjang, berwajah putih pucat, dan memiliki gigi taring yang tajam. Bila ku bayangkan ia tersenyum menunjukan lesung pipit. Pastinya ia tak akan terlihat menyeramkan. Malah menggemaskan.
Lama masih belum ku dengar respon Arka, hingga membuat bayangan itu memudar, memikirkan apa yang tengah ia garap.
Aku menoleh dengan penasaran. Namun kedua mata Arka masih terbuka lebar—menatapku. Senyum manisnya yang disertai lesung pipit tak ayal membuatku langsung berpikir betapa tampannya lelaki dihadapanku ini. Namun hanya beberapa detik aku tersadar.. bahwa dia temanku sebelum tatapan keindahannya membuatku memandanginya seperti orang idiot.

" Arka.. "keluhku. Lalu mencubit pipinya. Membuatnya seakan terbangun dari tidur panjangnya dengan mata terbuka.

" Oh ya.. ini sudah jam setengah 4.. Ayo ku antar ke perpustakaan." Sekonyong-konyong Arka langsung terduduk.

" Tumben kau tidak memiliki kegiatan sore?" tanyaku terheran-heran sembari merapikan rambutku yang tak karuan. Biasanya tidak ada petang-petangnya yang terlewat tanpa kegiatan. Hal itu bahkan membuatnya tak pernah mengantarku ke perpustakaan untuk mengikuti kelompok membaca yang semakin monoton setiap harinya.

" aku berniat mengikuti kelompok membacamu." Jawabnya sembari berdiri. Lalu kami melangkahkan kaki menuju kegiatan petang yang masih sama mengesalkannya untukku.
Kami berada dijalan..

" Apa kau tahu sesuatu?" Tanya Arka yang berjalan disampingku. Aku menoleh, Lalu menggeleng seperti orang dungu.

Arka mengembangkan bibirnya, tersenyum.

" Bila kau berusaha setiap hari, kau akan selangkah lebih dekat dengan mimpimu." Tiba-tiba aku tak mampu melangkah. Pikiranku terpusat pada lelaki yang terus menerus menarik roh kehidupan jiwaku yang nyaris terlupakan tentang mimpi itu.
Arka terhenti lalu menghampiriku yang berada dua langkah dibelakangnya.
" Aku tahu." Jawabku sembari memegang erat tangan kanannya. Bagaimanapun untuk mewujudkan mimpiku aku sudah berusaha dengan menyisihkan uang jajanku ke celengan boneka pinguin yang didalamnya dilapisi bahan tebal untuk menyimpan uang. Sedangkan bawahnya memakai resleting. Ayah sempat tak yakin memberikan celengan itu padaku. Bagaimanapun uangnya mudah sekali diambil ketika resletingnya dibuka.

"Apa yang kita lakukan setiap hari, menciptakan takdir untuk masa depan kita." timpalku.
Arka terdiam memandangku, seakan terkesan oleh ucapanku. Aku tak dapat memperkirakan dengan alasan apa. Tapi pandangan matanya yang menusuk, membekukan bola mataku yang terus menerus menatapnya. Hanya beberapa saat.. bagai angin membawa butiran-butiran debu terbang.. Ponsel Arka bergetar dalam kantong celananya. Secepat kilat matanya berpaling dari tatapanku. Lalu mengangkat telpon.

" iya.. tunggu saja disana." Hanya itu jawabannya, Lalu mengembalikan ponselnya ke kantong celana kembali.

" Siapa?" aku penasaran.

" Rifki.. teman kelas baruku. Dia ingin aku menemaninya membeli Skateboard." Jelas Arka. Seharusnya teman kelas baru adalah ketika kita pertama menginjakkan kaki ke sebuah sekolah. Tapi tidak.. Setiap tahun teman kelas Arka berganti. Setiap tahunnya pula anak-anak yang berprestasi dipindahkan ke kelas unggulan. Arka tak pernah tergeser sekalipun dari posisinya, Ia selalu merajai sekolah sebagai anak terpintar di angkatannya. Sisanya ia merajai sebagai anak tertampan, Setengah jail, setengah ternakal, dan setengah mengesalkan. Dikarnakan ia selalu melakukan apapun yang ingin ia lakukan. Untuk beberapa orang hal itu cukup menjengkelkan. Bahkan mendongkol sampai ke ujung hati. Tapi untukku pribadi, hal itu malah menggemaskan.

Lalu aku kembali mengajak kakinya bergerak menuju tujuan kami.
Arka mengantarku sampai perkarangan belakang perpustakaan. Dikarnakan ia akan pergi melewati jalan aspal disamping taman anak-anak menuju salah satu Skatepark menemui Rifki.

" Kau seharusnya menyukai membaca bila ingin membangun perpustakaan." Kata Arka sembari merapikan rambut sebahuku ke balakang pundak. Potongan rambut sebahu seperti potongan selamanya untukku. Aku memotongnya beberapa bulan sekali, ketika menyadari rambutku agak panjang.

" Aku suka membaca.. hanya saja terkadang membosankan ketika seluruh kata yang ku baca adalah namamu. Arka.. Arka dan Arka. Lalu sepertinya lebih baik mengobrol denganmu. Dan akhirnya aku menutup buku." Bantahku. Arka terkekeh sembari menggeleng. 

" Kalau begitu masuklah.. si cerewet Amira sudah menunggumu didepan pintu." Bisiknya mendekatkan kepalanya nyaris seperti ingin mencium. Bahkan dapat ku rasakan aroma wangi nafasnya. Membuat pergerakan tubuhku menciut tak terkendali.

Dengan ragu, ku tengok perpustakaan. Berusaha mengabaikan wangi Arka yang membara dalam tubuhku.
Disana terpampang Amira yang memakai dress ketat selutut.

" Ayolah Arzalea. Kita akan segera mulai." Pekiknya. Aku mengangguk lalu menoleh Arka sekilas.

" pergilah.. aku tunggu didepan rumah nanti sore." perintah Arka. Aku mengangguk ragu, behati-hati sekali menatap pergerakan Arka yang terus menerus menembaki jiwaku dengan wanginya. 

"Sekarang berbalik.." Perintahnya lagi-lagi. tapi ia tertawa. Seakan menatap sesuatu yang aneh—barangkali tingkahku.

Akupun bergerak lunglai menerka-nerka perasaan yang singgah dalam kepalaku. Lalu melangkah dengan was-was.. namun kembali menoleh ke Arka persedetik sekali.

Ia melambaikan tangan. tersenyum. lalu berjalan menjauh.



Share:

0 komentar