c | Jalan Buntu | Journey To Northen Light

Jalan Buntu



Satu hal yang begitu ku sukai dari tempat terpencil ini.. Berjalan kaki adalah kebiasaan sehari-hari. Barangkali disebabkan oleh banyaknya pepohonan yang tumbuh ditepian jalan. Jadi meski sorot matahari menyilaukan, dan bersinar terang-benderang, jalanan tetap terasa teduh dibawah naungan pohon. Seharunya aku berhenti menyebut tempat ini antah berantah, dan beralih ke planet pohon saja. Nyata-nyata tempat ini penuh dengan pepohonan yang ku impikan.
Seperti kemarin.. Dengan seragam putih-biru aku melangkahkan kakiku untuk pulang. Aku selalu sendirian menuju rumahku, Meski aku dan Lily satu sekolah. Sejujurnya aku tak masalah pulang sekolah bersamanya, hanya saja Lily sudah akrab dengan teman-teman barunya. Ia orang yang begitu ramah pada semua orang. Sangat bertolak belakang dari sikapku yang tak mengerti apapun tentang bergaul.
Hanya tinggal melewati satu rumah, seharusnya aku akan sampai dirumah. Tapi langkahku dibuat terhenti oleh seorang wanita muda yang mengepalkan kedua tangannya, lalu menunjuk-nunjukkannya ke anak laki-laki yang memakai seragam putih-biru seperti milikku. Ekspresi wanita muda itu membuatku terkekeh —ia melotot, dengan bibirnya yang melebar.
Tak lama ia menyadari keberadaanku.
" Oh hei.. gadis tetangga depan rumah!" Tiba-tiba ekspresinya berubah. Senyumnya merekah dari wajah lonjongnya. Lalu terburu-buru berjalan ke sampingnya —ke rumahnya.
Aku sudah sering melihat wanita muda itu. Tapi tidak dengan anak laki-laki yang masih membelakangiku tersebut.

Tak lama anak laki-laki itu membalikkan badan. Aku tersenyum padanya, namun wajahnya kaget tak meyakinkan. Lalu mengangkat jari telunjuknya menunjukku.

" Kau anak baru itukan?" tanyanya dengan pergerakan mulut yang menunjukan lesung pipit. Ku rasa dia adik wanita muda tadi.
Perlahan anak laki-laki yang masih menampakkan lesung pipit itupun berjalan mendekatiku. Matanya yang tajam bagai berliar yang berpijar-pijar di jauh dari permukaan sungai, ketika sinar mentari berkejap ke arahnya. Semakin dalam kian bertambah nyata benda itu berkilau. Nyaris mengalahkan sinar sang surya yang menyinari seluruh perairannya.

" kau.." Suara bagai bunyi melodi itupun kembali menggema dalam telingaku, lalu membuatku tersadar bahwa ia sudah ada didepan mataku.
Aku tersenyum merepon matanya yang mulai menyiyip mengingat namaku. " kau.." tanpa menyerah laki-laki itupun kembali menggali diriku dalam otaknya yang barangkali tak menyimpan namaku.

" Arzalea." Aku memberitahunya setelah nyaris 1 menit menyimak ekspresi lucunya yang tak berubah. Eh malah membuatnya tertawa. " ya.. Arzalea." Ia mengangguk dengan tawa yang sama.

" Aku Arka." Tiba-tiba suara merdunya memberitahuku.

" Nama kita memiliki awalan yang sama." Entah Arka menyadari atau tidak. Tapi aku malah langsung tahu ketika ia memperkenalkan namanya.
Senyumnya pecah memancang dan terbuka. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke sepatunya sekilas.

"Kenapa kau pindah kemari?" Pertanyaannya diluar dari tebakanku. Seharunya ia bertanya dari mana aku berasal? Atau aku masuk dikelas mana? Bagaimana tempat ini? Atau semacamnya.
Nampaknya Arka bukan orang yang suka basa-basi.
Aku terdiam beberapa saat memikirkannya, menebak kiranya seperti apa lelaki yang ada dihadapanku itu. Namun hal itu malah mengundang perasaan tidak nyaman yang Arka tunjukan lewat tatapan matanya. " Sebenarnya aku hanya ingin tahu!" tiba-tiba ia menjelaskan.
" Kau tahu.. tempat ini seperti jalan buntu! Tidak ada tempat untuk masa depan kita disini." lanjutnya yang membuat pertanyaanku tak tertahankan. Tapi sepertinya ia bisa membacanya bahkan sebelum ku katakan. "Ini kota besar, segalanya ada disini. Bahkan tempat perkuliahan.. penduduknya saja lebih dari 1 juta jiwa.. Tapi kita terpencil. Kota lain sulit dijangkau dengan kendaraan darat." Barangkali yang ia maksud lamanya perjalanan lewat jalan darat.

" Setidaknya kita memiliki bandara." bantahku.

" ya.. tapi bagaiman kalau jatuh? Sekitar kita penuh dengan hutan lebat."

" Berarti kita harus berhati-hati." aku kembali mengelak ucapannya. Membuat Arka tertawa memandangku. Lalu akupun ikut terlarut dalam tawanya.

" Kau seharunya bertanya dari mana aku berasal? lalu bagaimana tempat ini? Bukan alasan kepindahanku dulu." Arka masih tertawa konyol ketika menyimak ucapanku.

" Buat apa? Aku sudah tahu. Nyaris seluruh murid membicarakan itu. Tapi mereka tak membahas alasan kepindahanmu! itu yang membuatku penasaran." Sepertinya ia mengucapkan hal itu tanpa sadar, diiringi oleh hal lucu yang masih menyerbu otaknya.

" itu berarti kau juga mengetahui namaku?" Mendadak tawanya berhenti. Menyamarkan lesung pipitnya. Sulit baginya untuk sekedar berkedip. Ia terlihat kikuk.
Tiba-tiba seseorang merangkul pundakku. Aku bahkan tak menyadarinya bahwa Lily yang melakukannya. Ku rasa aku melewatkan detik-detik dunia yang berlalu ketika menunggu Arka bergerak.

" Wow.. dia keren sekali!" bisik Lily sembari sesekali menatap Arka

" hei.. Aku Lily Lavender!" Lily menjulurkan tangannya. Tatapan Arka terkaget-kaget bak melihat gummpalan meteor yang terjatuh tanpa kehancuran, tapi tetap menaggapi salaman Lily.

" Serius? namamu Bunga Lily dan Bunga Lavender yang disatukan?" Keheranan itu masih terpancar dari mata Arka yang menatap kami bergantian. Sepertinya kacanggungannya telah berakhir. Malah menular padaku.

" Hmm.. Mumma suka bunga. Maksudku.. Ibuku." sahutku. Lalu menarik tangan Lily yang masih memegang erat tangan Arka.

" Oh ya.. ini kakakku, Arzalea Aryanti. Dia pasti belum memperkenalkan namanya kan? maklum saja.. dia tidak suka orang asing. Tapi bila kau sudah mengenalnya.. akan sulit bagimu untuk tidak tertawa didekatnya. " Lily mulai mengoceh. Arka hanya terdiam seperti orang tolol.

" kau pasti kebingungan ya? umur kami hanya berjarak dua tahun, tapi tak benar-benar dua tahun. Dia bahkan lahir dibulan September dan Aku dibulan Juli." Mulut cerewet Lily masih terus beraksi. Dan itu akan memalukan.

" Sejujurnya aku sudah mengobrol beberapa hal dengan kakakmu." Tiba-tiba jawaban Arka membuat Lily terdiam. Menggerakkan rambut bergelombangnya yang wangi mengenai wajahku. Bahkan nyaris menyakiti mataku.

" Baiklah kalau begitu.. senang bertemu denganmu Arka. Tapi kami harus pulang." Pamitku sembari menarik tangan Lily yang masih enggan bergerak. Sepertinya ia masih meminta penjelasan mengenai status kami berdua.



Sejak saat itu.. Entah apa yang terjadi pada Arka.. Ia nyaris setiap pagi membuka pintu ketika aku melewati depan rumahnya untuk berangkat sekolah. Lalu akhirnya membuat kami berangkat sekolah bersama. Lalu pulangnya pun bersama. Secara tidak langsung hal itu membuat hubungan kami semakin dekat. Bahkan iapun mulai tak sungkan bermain ke rumahku, atau mengajakku bermain ke rumahnya —ke kamar berantakannya.

" dua baju lagi.." gerutuku sembari melipatkan baju Arka. Ia hanya mentertawakanku sembari duduk ditepi kasur. Lalu ku bereskan bajunya di lemari. Ketika ku tengok ke arahnya, Bantal-bantal berantakan lagi.

" Arka?" gertakku. Lalu ia melemparkan bantal gulingnya, bantalnya, dan selimutnya ke lantai. Setelah itu beranjak dari tempat tidurnya, lalu berlari melewati pintu. Aku segera mengejarnya secepat mungkin. Malah berakhir di perkarangannya. Lalu menjatuhkan diri ke atas rerumputan rata. Aku langsung memukuli punggungnya dengan lembut, tapi hanya sebentar. Lalu ia memenangkan kekesalanku dengan pesonanya.

" Apa kau punya mimpi?" Arka bertanya sembari menatap jingganya cahaya matahari dari balik lubang-lubang batang pohon didepan kami. Aku hanya terdiam menatapnya dengan kedua lututuku yang ku tekuk. Lalu Arka menoleh padaku.

" Tentu saja." Jawabku mengundang senyumnya keluar. Aku yakin iapun memiliki mimpi, itu sebabnya ia bertanya padaku. " Apa mimpimu? " tuntutku penasaran. Entah mengapa pertanyaanku yang wajar membuatnya mengalihkan pandangannya sekilas.
Dengan kobaran harapan yang berapi-api dalam matanya, ia menjawab. " Aku ingin jadi dokter gigi!" Senang mendengar itu. Rupanya bukan hanya diriku yang memiliki mimpi.

" Itu mimpi yang indah. tapi kenapa harus dokter gigi?" Arka masih memandang mataku dengan lesung pipitnya yang bertahan. Lalu menggeleng sembari mengalihkan pandangannya sekilas.

" Gigiku berlubang, padahal aku sikat gigi dua kali setiap hari." Aku tertawa kecil mendengar alasannya. Dibalik itupun aku sudah membaca tujuan mulia dari mimpinya.

" Jadi kau ingin menjadi dokter gigi agar tak ada lagi yang merasakan kesakitan yang sama sepertimu?" Tebakanku langsung Arka iyakan dengan anggukan kepalanya. " Kalau begitu, kau pasti akan mewujudkannya." Lanjutku dengan yakin. Tapi malah membuat mata Arka tak mau bergerak dari menatapku. Membuat sekujur tubuhku gugup tak terkendali, hingga menghasilkan butiran-butiran keringat sebesar biji jagung. 

" Lalu bagaimana dengan mimpimu? apa mimpimu?" suara yang sedap didengar itu sedikit mengurangi keringat kegugupan yang nyaris menjulur ke seluruh tubuh.

" A-aku.." tapi memalukannya suaraku malah terjebak dalam tenggorokan. Hingga membuat Arka tertawa keheranan. Lalu ku tarik nafas panjang, mengabaikan pandangan Arka. Setelah itu menjawab pertanyaannya. " Aku ingin membangun perpustakaan untuk Mum. "

" kenapa harus perpustakaan?" Mata heran Arka menatapku cukup serius. Tapi kini sudah ku rasakan tubuhku yang berangsur-angsur normal.

" Agar ia tak selalu bolak balik ke perpustakaan, lalu lupa menjemputku, lupa masak, atau sebagainya." Arka terkekeh menunjukan deretan gigi putihnya yang menawan. " Tapi.. aku juga ingin anak-anak kecil diselimuti oleh buku-buku. Jadi.. mereka akan melewati hari-hari mereka dengan kegiatan yang penuh pengetahuan." Lanjutku serius. Tapi Arka masih tertawa konyol bak mendengar lelucon terbaru yang baru sekali masuk ke dalam lubang telinganya. Entah kenapa aku malah bahagia melihat kerutan-kerutan yang terbentuk pada wajah Arka ketika tertawa, Seakan suaranya yang berirama terdengar seperti melodi fana yang membangkitkan.

Beangsur-angsur ditemani tenggelamnya sang surya yang masih memancarkan cahaya jingga samar-samar, Arkapun menghentikan suara kekehan tawanya.

" Lalu apa impian yang kau mimpikan untuk dirimu?" kini tatapannya serius. Aku setengah tersenyum. Menebak-nebak yang ia tanyakan. " kau bilang ingin membangunkan perpustakaan untuk Ibumu? Lalu bagaimana dengan mimpi untuk dirimu sendiri?"

" Aku ingin keliling dunia!" kataku sembari kembali menatap mata Arka. Iapun tersenyum. "bukan berarti aku tak menyukai indonesia. Aku bahkan sangat bangga tinggal dinegara penuh kebudayaan ini. Ku rasa ini tempat paling sempurna. Tapi.. suatu hari ku lihat fotoku ketika aku masih bayi.. kala itu aku berpakaian hangat, lalu menyentuh kepingan-kepingan putih yang jatuh dari langit." Arka masih menyimak ceritaku. " Aku merindukan diriku ketika itu. Karena sejak aku mengetahui butiran itu bernama salju.. aku tak pernah menyentuh butiran itu lagi. " Kini tatapannya pun beralih ke sepatu hitamnya, lalu iseng-iseng menarik rumput yang agak panjang diantara kedua sepatunya.
" hanya itu! aku ingin melihat bagaimana belahan bumi yang lain berjalan ketika musim berlalu." Ucapanku membuat gerakan tangannya berhenti, lalu menatapku. " aku sungguh menginginkannya!" ucapanku seperti permohonan. Arkapun mengangguk sembari melebarkan bibirnya.

Sesaat senyap pun menyihir kebersamaan kami.

" Bagaimana denganmu? Apa mimpimu yang lain?" akupun penasaran.

" hidup disekililing orang-orang yang ku sayangi, selamanya." Jawabnya cepat. Kesungguhan terpancar jelas dari ekpresinya. Tapi aku malah teringat ucapan Arka ketika pertama kali kami bertemu. " bukankah kau bilang tempat ini jalan buntu untuk masa depan kita?" Arka tersenyum, lalu menatapku dalam-dalam.

" itulah alasannya.." jawabnya. Akupun bertanya-tanya maksudnya dalam pikiranku. "Ketika aku kecil.. tidak ada rencana saling menjauh. Wulan tak pernah berniat kuliah ke luar negeri, Ibu tak pernah ingin membuka usaha di Surabaya, dan ayah tak pernah berniat membuka cabang toko alat musik dimana-mana." Tatapan kami masih bertemu. Seakan ia ingin mengatakan sesuatu lewat tatapan itu padaku.
Mendadak kepala Arka menggeleng. " dan kemarin aku tidak tahu kalau kau bermimpi ingin keliling dunia.. yang berarti akan meninggalkanku begitu lama." Ia menghembuskan nafas berat. Sembari memutar pandangannya, mencari kesegaran untuk pikirannya yang seakan sudah berada pada jalan buntu.

Hanya beberapa detik, iapun kembali memusatkan pandangannya padaku.
" Kini aku menyadari bahwa tidak ada yang akan berjalan sama, selamanya." Tatapannya menyakitkan, apalagi ketika senyum itu merekah. Seakan ia melakukannya dengan hati yang tengah diremuk.
" Itulah mimpiku yang lain. Tetap dikelilingi orang-orang yang ku sayangi, selamanya." Ia tersenyum kecut.

" Aku akan selalu disampingmu.." sahutku.

" bagaimana bisa? Kau akan keliling dunia."

" kalau begitu kita keliling dunia bersama." Arka terkekeh. Namun hanya beberapa detik, menyisakan senyuman kecil.

" Kita akan melakukannya!" tiba-tiba ia yakin. Lalu menunjukan telapak tangannya disamping tanganku. 

" Aku ingin melangkah mencapai mimpiku, bersamamu." Aku menggerakkan tangan, Lalu menumpuk telapak tangannya dengan telapak tanganku. Aku berharap selamanya dapat menggegam tangannya. Meski aku menyadari bahwa selamanya adalah waktu yang lama. Dan dalam waktu yang lama, tak ada yang akan berjalan sama.



Share:

0 komentar