Jalan Buntu

Seperti kemarin.. Dengan
seragam putih-biru aku melangkahkan kakiku untuk pulang. Aku selalu
sendirian menuju rumahku, Meski aku dan Lily satu sekolah. Sejujurnya
aku tak masalah pulang sekolah bersamanya, hanya saja Lily sudah akrab
dengan teman-teman barunya. Ia orang yang begitu ramah pada semua orang.
Sangat bertolak belakang dari sikapku yang tak mengerti apapun tentang
bergaul.
Hanya tinggal melewati
satu rumah, seharusnya aku akan sampai dirumah. Tapi langkahku dibuat
terhenti oleh seorang wanita muda yang mengepalkan kedua tangannya, lalu
menunjuk-nunjukkannya ke anak laki-laki yang memakai seragam putih-biru
seperti milikku. Ekspresi wanita muda itu membuatku terkekeh —ia
melotot, dengan bibirnya yang melebar.
Tak lama ia menyadari keberadaanku.
" Oh hei.. gadis
tetangga depan rumah!" Tiba-tiba ekspresinya berubah. Senyumnya merekah
dari wajah lonjongnya. Lalu terburu-buru berjalan ke sampingnya —ke
rumahnya.
Aku sudah sering melihat wanita muda itu. Tapi tidak dengan anak laki-laki yang masih membelakangiku tersebut.
Tak lama anak laki-laki
itu membalikkan badan. Aku tersenyum padanya, namun wajahnya kaget tak
meyakinkan. Lalu mengangkat jari telunjuknya menunjukku.
" Kau anak baru itukan?" tanyanya dengan pergerakan mulut yang menunjukan lesung pipit. Ku rasa dia adik wanita muda tadi.
Perlahan anak laki-laki
yang masih menampakkan lesung pipit itupun berjalan mendekatiku. Matanya
yang tajam bagai berliar yang berpijar-pijar di jauh dari permukaan
sungai, ketika sinar mentari berkejap ke arahnya. Semakin dalam kian
bertambah nyata benda itu berkilau. Nyaris mengalahkan sinar sang surya
yang menyinari seluruh perairannya.
" kau.." Suara bagai
bunyi melodi itupun kembali menggema dalam telingaku, lalu membuatku
tersadar bahwa ia sudah ada didepan mataku.
Aku tersenyum merepon
matanya yang mulai menyiyip mengingat namaku. " kau.." tanpa menyerah
laki-laki itupun kembali menggali diriku dalam otaknya yang barangkali
tak menyimpan namaku.
" Arzalea." Aku
memberitahunya setelah nyaris 1 menit menyimak ekspresi lucunya yang tak
berubah. Eh malah membuatnya tertawa. " ya.. Arzalea." Ia mengangguk
dengan tawa yang sama.
" Aku Arka." Tiba-tiba suara merdunya memberitahuku.
" Nama kita memiliki
awalan yang sama." Entah Arka menyadari atau tidak. Tapi aku malah
langsung tahu ketika ia memperkenalkan namanya.
Senyumnya pecah
memancang dan terbuka. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke sepatunya
sekilas.
"Kenapa kau pindah kemari?" Pertanyaannya diluar dari
tebakanku. Seharunya ia bertanya dari mana aku berasal? Atau aku masuk
dikelas mana? Bagaimana tempat ini? Atau semacamnya.
Nampaknya Arka bukan orang yang suka basa-basi.
Aku terdiam beberapa
saat memikirkannya, menebak kiranya seperti apa lelaki yang ada
dihadapanku itu. Namun hal itu malah mengundang perasaan tidak nyaman
yang Arka tunjukan lewat tatapan matanya. " Sebenarnya aku hanya ingin
tahu!" tiba-tiba ia menjelaskan.
" Kau tahu.. tempat ini
seperti jalan buntu! Tidak ada tempat untuk masa depan kita disini."
lanjutnya yang membuat pertanyaanku tak tertahankan. Tapi sepertinya ia
bisa membacanya bahkan sebelum ku katakan. "Ini kota besar, segalanya
ada disini. Bahkan tempat perkuliahan.. penduduknya saja lebih dari 1
juta jiwa.. Tapi kita terpencil. Kota lain sulit dijangkau dengan
kendaraan darat." Barangkali yang ia maksud lamanya perjalanan lewat
jalan darat.
" Setidaknya kita memiliki bandara." bantahku.
" ya.. tapi bagaiman kalau jatuh? Sekitar kita penuh dengan hutan lebat."
" Berarti kita harus
berhati-hati." aku kembali mengelak ucapannya. Membuat Arka tertawa
memandangku. Lalu akupun ikut terlarut dalam tawanya.
" Kau seharunya bertanya
dari mana aku berasal? lalu bagaimana tempat ini? Bukan alasan
kepindahanku dulu." Arka masih tertawa konyol ketika menyimak ucapanku.
" Buat apa? Aku sudah
tahu. Nyaris seluruh murid membicarakan itu. Tapi mereka tak membahas
alasan kepindahanmu! itu yang membuatku penasaran." Sepertinya ia
mengucapkan hal itu tanpa sadar, diiringi oleh hal lucu yang masih
menyerbu otaknya.
" itu berarti kau juga
mengetahui namaku?" Mendadak tawanya berhenti. Menyamarkan lesung
pipitnya. Sulit baginya untuk sekedar berkedip. Ia terlihat kikuk.
Tiba-tiba seseorang
merangkul pundakku. Aku bahkan tak menyadarinya bahwa Lily yang
melakukannya. Ku rasa aku melewatkan detik-detik dunia yang berlalu
ketika menunggu Arka bergerak.
" Wow.. dia keren sekali!" bisik Lily sembari sesekali menatap Arka
" hei.. Aku Lily
Lavender!" Lily menjulurkan tangannya. Tatapan Arka terkaget-kaget bak
melihat gummpalan meteor yang terjatuh tanpa kehancuran, tapi tetap
menaggapi salaman Lily.
" Serius? namamu Bunga
Lily dan Bunga Lavender yang disatukan?" Keheranan itu masih terpancar
dari mata Arka yang menatap kami bergantian. Sepertinya kacanggungannya
telah berakhir. Malah menular padaku.
" Hmm.. Mumma suka bunga. Maksudku.. Ibuku." sahutku. Lalu menarik tangan Lily yang masih memegang erat tangan Arka.
" Oh ya.. ini kakakku,
Arzalea Aryanti. Dia pasti belum memperkenalkan namanya kan? maklum
saja.. dia tidak suka orang asing. Tapi bila kau sudah mengenalnya..
akan sulit bagimu untuk tidak tertawa didekatnya. " Lily mulai mengoceh.
Arka hanya terdiam seperti orang tolol.
" kau pasti kebingungan
ya? umur kami hanya berjarak dua tahun, tapi tak benar-benar dua tahun.
Dia bahkan lahir dibulan September dan Aku dibulan Juli." Mulut cerewet
Lily masih terus beraksi. Dan itu akan memalukan.
" Sejujurnya aku sudah
mengobrol beberapa hal dengan kakakmu." Tiba-tiba jawaban Arka membuat
Lily terdiam. Menggerakkan rambut bergelombangnya yang wangi mengenai
wajahku. Bahkan nyaris menyakiti mataku.
" Baiklah kalau begitu..
senang bertemu denganmu Arka. Tapi kami harus pulang." Pamitku sembari
menarik tangan Lily yang masih enggan bergerak. Sepertinya ia masih
meminta penjelasan mengenai status kami berdua.
Sejak saat itu.. Entah
apa yang terjadi pada Arka.. Ia nyaris setiap pagi membuka pintu ketika
aku melewati depan rumahnya untuk berangkat sekolah. Lalu akhirnya
membuat kami berangkat sekolah bersama. Lalu pulangnya pun bersama.
Secara tidak langsung hal itu membuat hubungan kami semakin dekat.
Bahkan iapun mulai tak sungkan bermain ke rumahku, atau mengajakku
bermain ke rumahnya —ke kamar berantakannya.
" dua baju lagi.."
gerutuku sembari melipatkan baju Arka. Ia hanya mentertawakanku sembari
duduk ditepi kasur. Lalu ku bereskan bajunya di lemari. Ketika ku tengok
ke arahnya, Bantal-bantal berantakan lagi.
" Arka?" gertakku. Lalu
ia melemparkan bantal gulingnya, bantalnya, dan selimutnya ke lantai.
Setelah itu beranjak dari tempat tidurnya, lalu berlari melewati pintu.
Aku segera mengejarnya secepat mungkin. Malah berakhir di
perkarangannya. Lalu menjatuhkan diri ke atas rerumputan rata. Aku
langsung memukuli punggungnya dengan lembut, tapi hanya sebentar. Lalu
ia memenangkan kekesalanku dengan pesonanya.
" Apa kau punya mimpi?"
Arka bertanya sembari menatap jingganya cahaya matahari dari balik
lubang-lubang batang pohon didepan kami. Aku hanya terdiam menatapnya
dengan kedua lututuku yang ku tekuk. Lalu Arka menoleh padaku.
" Tentu saja." Jawabku
mengundang senyumnya keluar. Aku yakin iapun memiliki mimpi, itu
sebabnya ia bertanya padaku. " Apa mimpimu? " tuntutku penasaran. Entah
mengapa pertanyaanku yang wajar membuatnya mengalihkan pandangannya
sekilas.
Dengan kobaran harapan
yang berapi-api dalam matanya, ia menjawab. " Aku ingin jadi dokter
gigi!" Senang mendengar itu. Rupanya bukan hanya diriku yang memiliki
mimpi.
" Itu mimpi yang indah.
tapi kenapa harus dokter gigi?" Arka masih memandang mataku dengan
lesung pipitnya yang bertahan. Lalu menggeleng sembari mengalihkan
pandangannya sekilas.
" Gigiku berlubang,
padahal aku sikat gigi dua kali setiap hari." Aku tertawa kecil
mendengar alasannya. Dibalik itupun aku sudah membaca tujuan mulia dari
mimpinya.
" Jadi kau ingin menjadi
dokter gigi agar tak ada lagi yang merasakan kesakitan yang sama
sepertimu?" Tebakanku langsung Arka iyakan dengan anggukan kepalanya. "
Kalau begitu, kau pasti akan mewujudkannya." Lanjutku dengan yakin. Tapi
malah membuat mata Arka tak mau bergerak dari menatapku. Membuat
sekujur tubuhku gugup tak terkendali, hingga menghasilkan
butiran-butiran keringat sebesar biji jagung.
" Lalu bagaimana dengan
mimpimu? apa mimpimu?" suara yang sedap didengar itu sedikit mengurangi
keringat kegugupan yang nyaris menjulur ke seluruh tubuh.
" A-aku.." tapi
memalukannya suaraku malah terjebak dalam tenggorokan. Hingga membuat
Arka tertawa keheranan. Lalu ku tarik nafas panjang, mengabaikan
pandangan Arka. Setelah itu menjawab pertanyaannya. " Aku ingin
membangun perpustakaan untuk Mum. "
" kenapa harus
perpustakaan?" Mata heran Arka menatapku cukup serius. Tapi kini sudah
ku rasakan tubuhku yang berangsur-angsur normal.
" Agar ia tak selalu
bolak balik ke perpustakaan, lalu lupa menjemputku, lupa masak, atau
sebagainya." Arka terkekeh menunjukan deretan gigi putihnya yang
menawan. " Tapi.. aku juga ingin anak-anak kecil diselimuti oleh
buku-buku. Jadi.. mereka akan melewati hari-hari mereka dengan kegiatan
yang penuh pengetahuan." Lanjutku serius. Tapi Arka masih tertawa konyol
bak mendengar lelucon terbaru yang baru sekali masuk ke dalam lubang
telinganya. Entah kenapa aku malah bahagia melihat kerutan-kerutan yang
terbentuk pada wajah Arka ketika tertawa, Seakan suaranya yang berirama
terdengar seperti melodi fana yang membangkitkan.
Beangsur-angsur ditemani
tenggelamnya sang surya yang masih memancarkan cahaya jingga
samar-samar, Arkapun menghentikan suara kekehan tawanya.
" Lalu apa impian yang
kau mimpikan untuk dirimu?" kini tatapannya serius. Aku setengah
tersenyum. Menebak-nebak yang ia tanyakan. " kau bilang ingin
membangunkan perpustakaan untuk Ibumu? Lalu bagaimana dengan mimpi untuk
dirimu sendiri?"
" Aku ingin keliling
dunia!" kataku sembari kembali menatap mata Arka. Iapun tersenyum.
"bukan berarti aku tak menyukai indonesia. Aku bahkan sangat bangga
tinggal dinegara penuh kebudayaan ini. Ku rasa ini tempat paling
sempurna. Tapi.. suatu hari ku lihat fotoku ketika aku masih bayi.. kala
itu aku berpakaian hangat, lalu menyentuh kepingan-kepingan putih yang
jatuh dari langit." Arka masih menyimak ceritaku. " Aku merindukan
diriku ketika itu. Karena sejak aku mengetahui butiran itu bernama
salju.. aku tak pernah menyentuh butiran itu lagi. " Kini tatapannya pun
beralih ke sepatu hitamnya, lalu iseng-iseng menarik rumput yang agak
panjang diantara kedua sepatunya.
" hanya itu! aku ingin
melihat bagaimana belahan bumi yang lain berjalan ketika musim berlalu."
Ucapanku membuat gerakan tangannya berhenti, lalu menatapku. " aku
sungguh menginginkannya!" ucapanku seperti permohonan. Arkapun
mengangguk sembari melebarkan bibirnya.
Sesaat senyap pun menyihir kebersamaan kami.
" Bagaimana denganmu? Apa mimpimu yang lain?" akupun penasaran.
" hidup disekililing
orang-orang yang ku sayangi, selamanya." Jawabnya cepat. Kesungguhan
terpancar jelas dari ekpresinya. Tapi aku malah teringat ucapan Arka
ketika pertama kali kami bertemu. " bukankah kau bilang tempat ini jalan
buntu untuk masa depan kita?" Arka tersenyum, lalu menatapku
dalam-dalam.
" itulah alasannya.."
jawabnya. Akupun bertanya-tanya maksudnya dalam pikiranku. "Ketika aku
kecil.. tidak ada rencana saling menjauh. Wulan tak pernah berniat
kuliah ke luar negeri, Ibu tak pernah ingin membuka usaha di Surabaya,
dan ayah tak pernah berniat membuka cabang toko alat musik dimana-mana."
Tatapan kami masih bertemu. Seakan ia ingin mengatakan sesuatu lewat
tatapan itu padaku.
Mendadak kepala Arka
menggeleng. " dan kemarin aku tidak tahu kalau kau bermimpi ingin
keliling dunia.. yang berarti akan meninggalkanku begitu lama." Ia
menghembuskan nafas berat. Sembari memutar pandangannya, mencari
kesegaran untuk pikirannya yang seakan sudah berada pada jalan buntu.
Hanya beberapa detik, iapun kembali memusatkan pandangannya padaku.
" Kini aku menyadari
bahwa tidak ada yang akan berjalan sama, selamanya." Tatapannya
menyakitkan, apalagi ketika senyum itu merekah. Seakan ia melakukannya
dengan hati yang tengah diremuk.
" Itulah mimpiku yang lain. Tetap dikelilingi orang-orang yang ku sayangi, selamanya." Ia tersenyum kecut.
" Aku akan selalu disampingmu.." sahutku.
" bagaimana bisa? Kau akan keliling dunia."
" kalau begitu kita keliling dunia bersama." Arka terkekeh. Namun hanya beberapa detik, menyisakan senyuman kecil.
" Kita akan
melakukannya!" tiba-tiba ia yakin. Lalu menunjukan telapak tangannya
disamping tanganku.
" Aku ingin melangkah mencapai mimpiku, bersamamu."
Aku menggerakkan tangan, Lalu menumpuk telapak tangannya dengan telapak
tanganku. Aku berharap selamanya dapat menggegam tangannya. Meski aku
menyadari bahwa selamanya adalah waktu yang lama. Dan dalam waktu yang
lama, tak ada yang akan berjalan sama.
Tags:
Tertanda
0 komentar