c | Entahlah untuk apa semua ini! | Journey To Northen Light

Entahlah untuk apa semua ini!

Hari-hari berlalu begitu cepat, bahkan lebih cepat dari yang ku duga. Entah darimana pikiranku akan merencanakan pembangunan perpustakaan itu, Aku bahkan gadis yang tidak memiliki apapun. Tidak dengan tabungan besar, investasi masa depan, atau perencanaan semacamnya. Aku hanya seorang rakyat jelata yang hidup dengan mimpi tinggi yang akan ku perjuangan. Sulit menjadi seperti ini, kekurangan banyak hal yang bahkan tak dapat dihitung. Tapi keyakinan yang kuat mengubah segala pemikiran pesimis itu. Dan aku senang ketika Tuhan menunjukan keberadaannya lewat semangat yang sekonyong-konyong mengalir deras dalam seluruh tubuhku. Rasanya hanya.. sedetik yang lalu merasa begitu lemah.. ingin menyerah.. bahkan seakan tak mampu lagi bernafas. Tiba-tiba ketika menutup mata, Seakan ada cahaya bening yang mengaliri tubuhku dengan tulus.

Belajar.. tentu itulah prioritasku sekarang. Kurang dari seminggu lagi ujian nasional. Entahlah kenapa harus secepat ini. Bahkan pada try out terakhirku, matematikaku mendapatkan nilai 2. Sedangkan yang lain diatas 8. Aku bahkan ingat sekali ketika itu.. Aku menangisi nilaiku tersedu-sedu, Lalu terlelap dipundak Arka hingga larut sore.. Memandangi senja kala yang sinar-sinar jingganya merasuki tubuh kami. Lalu meski burung bulbul terus bernyanyi dengan suara kicauannya.. suasana ketenangan kala itu tak terusik sama sekali. Aku sempat mengungkapkan bayangan menyeramkan yang singgah dalam pikiranku.. Sebut saja ketika aku tidak lulus, lalu dengan jijiknya orang-orang menjauhiku. Tapi sayangnya hal itu malah membuat Arka terkekeh. Dan ketika aku membuka mata dari tidur singkat yang begitu menenangkan itu.. Kalimat pertama yang Arka ucapakan adalah

" Jangan cemaskan itu.. apapun yang terjadi aku akan selalu ada untukmu."

Lalu ingatan itupun tiba-tiba membuat tanganku yang memegang pulpen membeku tanpa memikirkan tentang angka-angka lagi, malah berubah ke Arka. Hanya selang beberapa detik saja.. ingatanku yang lain menunjukan kejadian ketika Nurdin memutuskan hubungan kami, lalu Arka mendekapku sembari berbisik

" Aku akan selalu ada untukmu."

Ingatanku yang lainnya mulai saling muncul, ketika Arka bercerita tentang gadis yang ia sukai.. Ketika itu aku menyarankannya untuk selalu ada bila gadis itu membutuhkan. Dengan begitu iapun akan menyukainya perlahan.

Akhirnya pikiranku membuat kesimpulan yang sulit dipercaya.. Benarkah gadis yang Arka maksud itu aku? Tapi bagaimana mungkin? Meski faktanya.. Akulah gadis yang bersama Arka sepanjang hari.
Pikiranku mendorong untuk menutup buku matematika yang berada didepanku, Lalu menggesernya menjauhi depanku, diganti oleh sebuah ponsel yang langsung memberiku ide untuk menghubungi Arka..

" Arka.." tulisku. Entah kemana perginya anak itu, dia belum sempat memberiku kabar sejak tadi pagi.

 " Apa sayang?" balasnya cepat. Bahkan kurang dari satu menit.

" Bisakah kita bertemu? Aku ingin membicarakan sesuatu yang bahkan terlalu sulit untuk ku pahami sendiri." balasku secepat mungkin.

" ya.. tentu.. Kita bertemu nanti malam." Balasnya lagi.

" kenapa tidak sekarang?"

" ya.. well.. kau pasti tak akan percaya bila ku ceritakan.. Riri Riana mengajakku ke rumahnya, Lalu orangtuanya mengundangku makan di Restoran baru mereka." Jadi ini tentang Riana, gadis itu lagi? Bagaimana bisa Arka menyukaiku dengan sangat? bila hanya karena ikut makan bersama keluarga Riri Riana, dia tak mau bertemu denganku.

" sayang..." sekali lagi Arka membalas. Andai saja itu benar, aku lebih dari seorang teman yang selalu ia utamakan seperti gadis bodoh yang ia sukai sejak dulu itu. Tapi kini aku tahu jawabannya bahwa bukan akulah gadis bodoh itu. Sudah jelas ia terlalu bahagia bersama Riri Riana.

" Aku bersumpah aku menemuimu secepat kami selesai." sekali lagi Arka mengirimkan pesannya. " Aku akan membawakan bakso kesukaanmu. bagaimana?" Aku tak tahu berapa lama aku terdiam mengamati pesan Arka, yang pasti pesan-pesan yang ia kirim menunjukan betapa lamanya aku tak bergerak.

" Persetan denganmu Arka. Bersenang-senang saja sana dengan wanita jalang itu. Aku tidak peduli." Aku mengetiknya dengan jengkel. Tapi tiba-tiba tanganku berhenti bergerak ketika ingin mengetuk tulisan kirim. Ku rasa ucapan itu akan menjauhkanku dari Arka lagi. Dan itu akan menyebalkan. Jadi.. Ku pikir.. aku perlu menghapusnya. Lalu mengetik ulang dengan kalimat yang lebih baik. "Oh, tentu saja.. Bersenang-senanglah.. aku bisa menunggu hingga besok. "

" besok? Ku pikir kau ingin segera bertemu denganku?"

" hmm.. ya.. tentu.. aku ingin. Tapi aku bisa menunggunya. Ku pikir kau perlu pendekatan dengan orangtua Riana." Padahal aku ingin sekali menulis cepat pulang, aku tidak bisa menunggu lagi. Aku ingin memelukmu.

" Oh ya.. kau benar. Kalau begitu sampai nanti. :) x " jawabnya yang diakhiri oleh huruf x sebagai tanda cium. Aku tak bermaksud kembali membalas pesannya, ku rasa kalimatnya sudah cukup menjelaskan apa yang sebenarnya ia lakukan. Barangkali.. kini ia tengah tertawa cekikikan bersama keluarga Riana. Meski itu hanya tebakanku, tapi aku begitu yakin ketika membaca ulang pesannya.

Sekitar pukul 4.10 sore, aku masih terjaga didepan meja belajarku, merenungi bagaimana nasib akan membawaku kelak. Tentu saja ini tentang Arka, Arka dan Arka. Entah kenapa dia harus berputar-putar bagai kincir angin dikepalaku. Bagai setiap angin berlalu yang menggerakannya.. Aku merasakan Arka dalam tulang belulangku. Pemikiran tersebut cukup menyiksa. Hingga membuat tangan jailku begitu saja mengirim pesan pada Arka.

" Arka.." Kali ini rasanya aku benar-benar ingin memintanya segera pulang menemuiku. Lalu aku ingin mendekapnya, mengatakan yang sesungguhnya apa ku rasakan, tak peduli bagaimana responnya, tak peduli bila akhirnya ia akan kecewa oleh sikapku yang menyukainya teramat sangat, aku hanya ingin dia tahu betapa aku sungguh tersiksa memikirkannya bersama gadis lain.

" iya.." jawabnya singkat. Arka bahkan tak pernah menjawab seperti itu.

" bagaimana acaranya?"

" berjalan lancar." Kini jawaban singkat lagi. Sepertinya sulit memintanya langsung pulang. Terlebih dari balasan singkatnya ia terlihat menikmati kebersaam itu.

" Apa kau sungguh mencintainya?" tiba-tiba aku penasaran.

" kenapa kau bertanya seperti itu?"

" entahlah.. aku hanya bertanya."

" ya.. tentu saja.. Aku sangat mencintainya. Dia pacarku." Aku bersumpah Arka tak pernah mengatakan ini padaku. Satu-satunya gadis yang ia akui —yang sebegitu ia cintai adalah gadis bodoh yang tak menyukainya itu. Arkapun tak pernah mengatakan namanya padaku, ataupun mengakuinya sebagai pacar. Bagaimana mungkin ia mencintai Riri Riana?

"kenapa kau bertingkah aneh seperti itu?"

Aku menunggu dengan gelisah. bertanya-tanya kiranya apa yang ada dipikirannya.

Ting.. ponsel berbunyi, ku pikir Arka.. tapi sebuah nomer baru masuk. " Hei.. kau.. Arzalea.. berhenti mengganggu pacarku! by. Riri Riana." Aku kaget membaca pesan dari si Riana. Rasanya seperti.. aku tak menginjak dunia yang sama dengan Arka. Seakan aku sudah diujung planet yang tak dikenal.

" apa yang kau katakan ini.. kami hanya berteman.." sangkalku secepat mungkin. Aku menyukai Arka dengan sangat. Tapi aku tahu posisiku. Sejauh inipun hubungan kami tidak lebih dari seorang teman yang berlanjut ke sahabat, dan berhenti dipersahabatan.

" Kau mengirimnya pesan terus menerus!"

" kami hanya berteman. Bila kau tidak percaya, mungkin kita bisa berteman, jadi kau akan tahu bahwa kami hanya berteman." entah kenapa setelah pesan itu ku kirim, Riana tak membalasnya. Aku sangat menyesal menawarkan pertemanan dengan Riri Riana, itu bahkan tidak muncul dari dalam hatiku. Hanya sekedar pembuktikan bahwa sebenarnya hubunganku dengan Arka memang hanyalah bentuk persahabatan kami. Meski pada bagian terdalamnya, ditempat yang tak memiliki tanda pengenal, aku menyukai Arka dengan sangat.

Detik-detik berlalu penuh siksaan, bahkan rasanya aku menghirup bau neraka. Sebegitu menyesakkannya kah perasaan ini? Aku bahkan nyaris tak mampu menyemangati diriku sendiri ketika Malaikat Pelindungku berubah menjadi Malaikat perusak.

Hanya 30 menit dari itu.. pintu kamarku diketuk dengan kasar. Itu tak mungkin mum atau ayah. Namum berkemungkinan besar Lily atau Vaad. Namun bila ku tengok jam yang berdetik rasanya tak mungkin bila salah satu dari adikku. Lily masih ada les, sedangkan Vaad sedang menjadi pendongeng untuk menghibur anak-anak kecil.

" dor..dor..dor" sekali lagi suara itu. Aku langsung beranjak dari tempat dudukku, Lalu membukakan pintu. Dan ketika ku ketahui yang berada dihadapanku, Aku hanya membuka pintu kamarku dengan celah tipis, bahkan hanya muat setengah badanku.

" Hei.." Arka terlihat gelisah sembari menyapaku.

" Terimakasih sudah menepati janji." responku. Arka menggeleng.

" Aku lupa membawakan bakso kesukaanmu." Lanjutnya menyesal. Tapi ini lebih dari itu. Alasan kenapa aku tak membiarkannya masuk ke kamarku.

Akupun terdiam, Lalu mengalihkan pandanganku ke bawah.

" Aku bisa menjelaskannya, Ar." Tiba-tiba Arka bersuara.

" tidak ada yang perlu dijelaskan. Sudah jelas.. seharusnya aku berhenti mengganggumu." Arka menggeleng penuh penolakan, bahkan berusaha mendorong pintu kamarku agar lebih lebar. Tapi aku menahannya. Lalu iapun beralih ketanganku, Memegang pergelangan tanganku.

" tidak boleh, Ar! Kau sahabatku, kau yang bersamaku setiap hari."

" kini dia bisa menggantikanku." Bersamaan ku katakan itu, pegangan tangan Arka melemah.

" setidaknya izinkan aku masuk.." mohonnya. Aku menggeleng. Sepertinya akan sulit berusaha melupakannya, atau menyukai yang lain, bila aku masih bersamanya setiap waktu.

" maaf aku tidak bisa! Nantinya Riana malah akan menelponku setiap waktu.. lalu mengganggapku menggodamu!" Mata kami saling berpandangan beberapa saat. Bila kenyataan tak berjalan semenyakitkan ini, Aku sungguh ingin memeluknya seerat mungkin. Tak akan membiarkannya berpaling. Namun segala yang ku harapakan.. terkadang jalannya tak semulus itu.

" Maaf.." ku akhiri tatapan menusuk itu. Sebelum pada akhirnya Arka memenangkan peperangan dalam kepalaku hanya karna pesona tatapannya.

Lalu akupun menutup pintu kamarku. Benar-benar mengusirnya.

Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan tanpa Arka, seluruh kalimat yang ia ucapkan memotong pergerakan kecemasanku setiap detiknya. Kini.. tidak ada lagi suara itu. Bahkan aku menendangnya keluar dari hidupku. Bagaimana bisa ini berlangsung? Aku tak dapat menemukan melodi ketika menekan tuts. Bahkan setelah ku keluarkan seluruh tenagaku. Rasanya senyap. Suaraku pun teredam oleh isakan tangisanku yang mengalir deras menuju lautan luas. Bahkan ketika ku sadari perasaanku.. Rasanya ku pijakan kakiku diatas perairan terbuka yang setiap langkahnya menenggalamkanku semakin jauh ke dalam.

Kejadian ini bukanlah kejadian biasa untukku.. Aku tak menghabiskan malamku seperti biasanya. Melainkan hanya membolak-balikan badan, Menatap langit-langit kamar yang gelap, atau tekadang entah kemana pandanganku.. Pikiranku melayang membayangkan kemungkinan-kemungkinan hariku tanpa Arka. Seperti.. dia akan menikahi Riana, Mengutamakan Riana dari diriku, lalu aku seutuhnya digantikan dihati Arka.
Lalu akupun mendapatkan kesepakatan dengan pikiranku. Aku harus belajar mencintai orang lain lagi. Bukan lagi Nurdin, tapi seseorang yang akan sungguh-sungguh menginginkanku. Dan bila orang itu belum muncul.. Aku memiliki alternatif lain.. menjauhi Arka. Sepertinya kedua hal tersebut bukan keputusan yang baik. Apalagi kurang dari seminggu.. ujian nasional menuntutku untuk menjadi cerdas. Jadi.. Keputusan terbaiknya adalah.. fokus pada belajar dan belajar.


Share:

0 komentar