c | Arang yang Membakar | Journey To Northen Light

Arang yang Membakar

Tanpa disangka-sangka, tanpa pernah terpikirankan, siang itu ayah pulang dengan raut kebahagiaan yang tak terungkapkan. Lalu dengan semangatnya ia bercerita bahwa ia dapat undian umroh dari kantornya. Tentu dia begitu bahagia.. Itu adalah mimpinya. Mimpi tebaiknya yang selalu ia impikan sejak dulu.

Iapun akhirnya berangkat ke Mekah bersama mum. Dan aku menanggung tanggung jawab besar menjaga kedua adikku; Lily; yang sudah memiliki pacar yang jauh lebih tua darinya.. bahkan sudah memiliki usaha distro sendiri. Dan Vaad; yang sudah sudah kelas 5 SD.. yang hari-harinya masih sibuk dengan lukisannya, juga dongeng yang ia kisahkan untuk anak-anak.

Mum dan ayah selalu memberi kabar setiap hari. Mereka sangat menyukai Mekah. Bahkan bila memiliki kesempatan Mum ingin sekeluarga tinggal disana. Itu mimpi yang indah.

Hingga pada suatu pagi Mum menelpon dengan suara parau. Aku sempat berpikir badannya sedang tidak baik, terlebih iapun sempat mengeluhkan akan cuaca disana. Tapi suaranya saru oleh isakan.

" katakan padaku apa yang terjadi, Mum?" akupun dengan mendadak takut.

" Ayahmu.." katanya. " Ayahmu.." lagi-lagi hanya itu yang ia katakan. Aku tahu sesuatu tengah terjadi. Suara parau Mum bahkan sudah bisa menjelaskannya.

" Apa yang terjadi pada ayah, Mum?" Tuntuntku. Ia tak merespon secepat yang ku harapkan. Malah membuatku semakin panik ketika medengar suara isakan tangisnya yang kian bertambah jelas.

" Ja-ga sa-ja adik-adikmu.." suaranya putus-putus, menyakitkan untuk didengar.

" Tarik nafas Mum.." pintaku.

" Ayahmu meninggal setelah sholat subuh tadi." Tiba-tiba dengan lancar mum bersuara. Sekujur tubuhku lemah. Aku membeku ditempat. Otakku tak mampu memerintah apapun. Lalu perlahan air mata berlinang menghiasi pipiku. Akupun sulit merasakannya, nyaris tak merasakan apapun lagi.

Ayah tak akan pernah kembali lagi. Bahkan aku tak akan lagi melihatnya tersenyum atau menasehatiku.
Bagaimana bisa hal itu terjadi?

Mengapa hidup selalu menuntunku pada hal-hal yang tak ku inginkan. Kenapa hal-hal yang tak ingin ku lihat, malah semakin jelas ditampilkan padaku? Betapa tidak adilnya?

Pikiranku berkelana.. terkadang menampakkan pemutaran ulang tentang kenanganku bersama ayah. Itu bukan sekedar sebuah pemutaran, seakan tengah menonton bioskop jaman dulu. Sisi-sisinya gelap. 

Warnanya hitam putih. Tapi aku ingat betul bagaimana ia tersenyum.

Aku akan merindukan itu.

Pemutaran kenangan itu masih berjalan dalam otakku, Lalu sampailah pada ketika ku ketahui mimpi besarnya. Kini baru ku sadari apa yang telah Ayah dapatkan.. dia meninggal dalam mimpinya yang sudah tercapai. Meski aku sedih karena kehilangan dirinya dengan sangat, kini rasanya sedikit terhibur mengetahui mimpinya telah terwujud.

Dengan suara yang lebih lega, mum memberitahuku bahwa jazad ayah dimakamkan di Mekah. Lalu mum kembali ke tanah air tanpanya.

Seperti kematian pada umumnya, rumahku dipenuhi orang-orang dengan baju berwarna hitam. Beberapa yang mengenalnya ikut menangis bersama mum, bahkan Lily yang selalu ceria berubah muram. Ia bahkan baru ingin menunjukan pada Ayah hasil ujian nasionalnya yang menjadi murid terbaik disekolah. Tapi ia tak sempat.

Dan Vaad.. ia tak menangis, beberapa kali malah menguatkan Mum dan Lily. Tapi aku tahu bagaimana ekspresi pertamanya ketika mengetahui berita tersebut. Seakan nyawanya diangkat dalam beberapa detik. Mirip orang yang kehilangan akal, tak bertenaga sama sekali bahkan meski hanya untuk berkedip.

" Kakak akan baik-baik saja." kata Vaad yang baru duduk disampingku. Aku menghabiskan beberapa saat didapur. Menenangkan diri dengan minum air putih. Kini aku sudah tak menangis lagi, air mataku sudah kering. Barangkali air mataku yang sudah habis.

Ku pandangi wajahnya yang rapuh, namun setiap kali pandanganku kena matanya, iapun segera menutupi kerapuhan itu dengan menarik kedua bibirnya melebar, berharap kesedihannya dapat bersembunyi, dan aku tak akan terlalu merasa kehilangan.

" Lily pasti lebih merlukanmu.." akupun merekahkan senyumku untuknya. Membuatnya berpikir beberapa detik, lalu mengangguk. Seakan baru teringat keadaan kakaknya yang lain. Lalu iapun meninggalkanku sendirian.

Dalam beberapa saat aku terdiam memandangi gelas kaca yang hanya terisi setengah air putih, dikarnakan setengahnya tadi sudah ku minum dengan lahap. Aku memikirkan hari-hariku tanpa Ayah. terutama bagaimana bisa keluarga kam bahagia tanpa salah satu dari kami. aku tidak berpikir akan ada kebahagiaan setelah ini. ku rasa semuanya sudah berakhir. rumah sudah rapuh ketika salah satunya menghilang.

" Hey.." suara merdu Arka mengelilingi pikiranku. Aku masih saja tak mengerti mengapa harus Arka yang selalu muncul membayangiku bahkan ketika aku tengah sesedih ini.

" Ku harap kau disini." Keluhku pada diriku sendiri.

" Aku disini." Jawabnya. Sekonyong-konyong tubuhku langsung merasakan kehangatan. Mataku meneliti rasa itu yang pada akhirnya berujung nyata. Kedua tangan Arka sudah mengikat tubuhku. Aku menoleh ke arahnya.. yang berada disampingku.

Arka tersenyum kecil sembari mengecup pipiku. Tapi hal itu malah membuatku menangis.
" kalau begitu aku tak akan menciummu lagi!" bisik Arka membuatku setengah tertawa. Lalu iapun perlahan-lahan melepaskan rangkulannya. Aku berdiri dengan cepat untuk mendekapnya. Apalagi ketika melihatnya memakai pakaian serba hitam.

" Aku akan selalu ada untukmu." Bisiknya lembut mengundang air mataku terjatuh diluar kendali.
Tak lama.. Lily muncul bersama seorang laki-laki. Ku tebak ia sebagai pacarnya. Namun entah siapa namanya, dia nyaris hilang dalam pikiranku. Kedatangan merekapun membuat air mataku semakin deras. Seakan ketika melihat orang-orang dengan pakaian serba hitam mengingatkanku lagi akan betapa menyedihkannya ditinggal seorang Ayah.

Akupun menutup mataku. Menyembunyikan diri ke pundak Arka. Membuat suara isakan tangisku teredam bajunya.

" Ayo.. cari tempat yang bisa menenangkan." Bisiknya sembari mendorong tubuhku dengan lembut. Lalu Arka mengeringkan air mataku dengan jempolnya. Setelah itu menggengam tanganku untuk mengajakku berjalan keluar menjauhi rumah.

Entah kemana pikiranku melayang, Aku bahkan tak tahu kemana Arka akan membawaku selain berjalan disampingnya dengan genggaman erat. Lalu tiba-tiba saja sampai disebuah kursi panjang di tepi jalan. Langsung saja aku duduk sembari melepaskan genggaman tangan Arka. Lalu Arkapun duduk disampingku.
Ketika mataku menatap kejauhan.. ku lihat beberapa permainan. Seperti ayunan, prosotan dan sebagainya. Lalu ku sadari bahwa ini taman anak-anak. Tempat yang biasa Vaad datangi untuk menghibur anak-anak kecil dengan dongeng-dongengnya. Sayangnya.. teman ini sedang tak bisa disebut taman anak-anak. Dikarnakan mataku tak dapat menangkap satu anakpun disana. Entah kemana perginya mereka semua? Atau barangkali mereka hanya takut bila aku berbuat gila karena hari terpuruk ini. Bagaimanapun anak kecil itu menyebalkan.

" Bagaimana bisa.." Aku menggeleng sedih ketika kembali mengingat Ayah. " Bagaimana bisa seseorang yang setiap harinya kita lihat.. tiba-tiba harus pergi selamanya.." keluhku masih menatap kejauhan.

" Takdir menyebalkan." Jawab Arka tegas. Aku tertawa kecil, Lalu menoleh ke Arka. Iapun ikut tertawa. Lalu tawanya memudar perlahan ketika memandangi mataku. Entah apa yang ia pikirkan, Ia seakan tak mampu melakukannya lebih lama..Arkapun langsung menyandarkan kepalanya di pundakku sembari melingkarkan kedua tangannya diperutku.

" Aku akan mengigitkan takdir untukmu dengan gigi-gigiku yang kuat. hingga menyisakan takdir yang kau inginkan." Oceh Arka membuatku tertawa kembali. Lalu aku menyandarkan kepalaku diatas kepalanya. Membuat kami sama-sama terdiam begitu lama. 

Sekonyong-konyong kepala Arka bergerak, gerakan tersebut membuatku kepalaku kembali tegak.

" Ikutlah ke Surabaya bersamaku. Aku sudah sangat kesepian tanpamu." Perintahnya yang sungguh-sungguh ingin ku iyakan. Tapi.. apa sekarang mungkin? Yang dulunya saja.. ketika Ayah masih disini dengan penghasilan tinggi aku tak bisa ke ikut pergi bersamanya karena masalah uang. Apalagi sekarang.. ketika ia meninggalkan kami. Belum lagi sisa hutang yang entah seberapa banyak.

" aku ingin! ingin sekali.. tapi kau tahu aku.. "

" Aku akan mencarikanmu pekerjaan.." Selanya. " Orangtua temanku memiliki sebuah ruko besar yang digunakan sebagai toko buku. Kontraknya akan berakhir dua tahun lagi. Aku akan menyewa tempat itu untukmu. Lalu membukakan toko buku. Jadi.. kau bisa bekerja menjaga toko buku itu.. atau menjadikannya sebagai perpustakaan." Jelas Arka yang sungguh membuatku terharu.

" itu tidak akan adil untuknya.." Jawabanku membuat senyum Arka merekah. Lalu dengan sigap ia mengubah duduknya menghadap padaku.

Arka merengkuh wajahku dengan kedua tangannya.

" dan tidak akan adil untukku.. hidup tanpa dirimu." Ucapan itu sudah ku harapkan dari dulu. Bila saja ia melakukan sebagai seseorang yang ia cintai. Tapi apapun itu.. aku tak peduli. Asalkan aku bisa berada terus disampingnya, selalu dinomer satukan seperti ini. Seakan akulah satu-satunya gadis yang ia puja. Ini sudah lebih dari apapun yang ku harapkan darinya.

" Kalau begitu aku akan kesana.." Jawabku membuatnya terlalu lama memandangku. Lalu ku sentuh tangannya.

" kau hanya harus menunggu dua tahun lagi.. hanya dua tahun. " terpancar sedikit kesedihan ketika ia mengucapkannya. " itu akan jadi waktu yang cepat.." lanjut Arka. Barangkali ia berusaha menyemangati dirinya sendiri.

" dan sepertinya aku tak akan pulang selama dua tahun itu." Aku terheran-heran. Mataku terbelalak. Lalu menepuk pundaknya dengan jengkel.

" Kau pikir itu waktu yang sebentar untuk tidak bertemu denganmu?"

" kau harus bisa.. Aku melakukan ini untukmu." Ia kembali menyentuh pipiku.

" Apa maksudmu?"

" Sebentar lagi aku KKN. Entah dimana aku akan ditempatkan, tapi aku yakin itu akan jadi tempat yang berat. Setelah KKN berakhir aku sudah memiliki rencana bersama Rivai. Kami akan membuaka toko baju bersama. Aku akan sangat sibuk dengan itu." Jelasnya.

Padahal Arka sudah kaya. Tapi iapun masih ingin melakukan banyak hal.

" Kau tahu.. uangnya bisa kita pergunakan untuk membeli buku-buku!" Lanjutnya. Arka benar. Ia tak mungkin meminta uang pada orangtuanya.

" Aku akan bekerja keras dua tahun ini untukmu.. Aku janji!" Ia menatapku begitu tajam. Tapi aku malah merasa tak nyaman mendengar ucapannya.

" itu tidak adil untukmu, Arka." Seharunya aku yang bekerja keras sendiri untuk mewujudkan mimpikku.

" Tak masalah.. Setelah itu kita akan bersama lagi. Aku akan jadi dokter gigi dan kau mengurus perpustakaanmu. Bagaimana menurutmu?" Aku bahagia sekali mendengar rencana itu. Bukan karena perpustakaannya. Tapi bagaimana ia berusaha berjuang untukku untuk hal-hal yang akan membuatku bahagia.

" Aku akan berusaha menggapai mimpiku sendiri." Aku meyakinkannya dengan menggengam tangan Arka seerat mungkin.

" ya.. tapi mimpiku yang lain adalah bersamamu." Bantah Arka. " Aku membantu menggapai mimpimu, untuk menggapai mimpiku." Lanjutnya.

Tanpa dapat berkata apa-apa lagi akupun mendekapnya dengan erat.

Setelah percakapan yang cukup memudarkan kesedihanku itu.. Arkapun mengajakku pulang. Namun sesampai didepan rumah.. aku malah dikejutkan oleh oleh Vaad yang tengah menggandeng gadis kecil dengan rambut sepunggung. Mereka berdua berjalan ke rumah Arka.

" Siapa gadis itu?" Ia masih asing untukku. Malah seakan aku tak pernah melihatnya.

" Aku membawakan teman untuk Vaad.. dia seusia Vaad." Jawab Arka. Lalu mataku berpaling ke mata Arka.

" Dia tidak mungkin anakmu?" Aku langsung menggeleng. Arka mengangguk seraya membuka mulutnya untuk tertawa.

" Dia keponakan Ibuku." Tiba-tiba tawanya memudar. " Orangtuanya kecelakaan sebulan lalu.. Meninggalkan Virgi sedirian." Akupun kembali bersedih. Rupanya bukan hanya aku yang kehilangan orangtua. Gadis malang itu malah kehilangan lebih dalam dari diriku yang masih memiliki seorang Ibu.

" Selama sebulan ini.. dia tinggal bersama aku dan Ibu di Surabaya. Kami berusaha membuatnya mengerti bahwa dia masih memiliki kami. Meski tak sepenuhnya berhasil. Setidaknya ia sudah mulai ceria kembali."

" Dia kehilangan kedua orangtuanya." Gumam Arka. " Aku bahkan tak dapat membayangkan bagaimana menjadi dirinya!" Pandangannya melamun. "dia gadis yang kuat." Lanjut Arka masih memandangi rumahnya. Lalu tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya memandangiku. Akh.. mata menusuk itu lagi. Bagaimana bisa aku akan bertahan diam menyembunyikan perasaanku lebih lama ketika merasakan betapa teduhnya perasaanku didekat Arka.

" Begitupun dirimu.. " lanjut Arka. Aku tersenyum, lalu merasa sedih untuk beberapa saat ketika mengingat kepergian Ayah.

" Aku akan selalu ada untukmu, Aku janji." Aku bisa mempercayai ucapan itu. Meski seharusnya ia tak memjanjikan hal yang tak bisa ia kendalikan. Namun aku percaya pada Arka, kesungguhan dalam tatapan matanya tak pernah berubah.

Karena iapun kuliah, ia tak bisa tinggal lebih lama untukku.
Ia kembali menempatkanku ditepi jalan untuk menatapnya menjauh. lagi-lagi.

" Kau akan baik-baik saja!" pesan Arka membelai rambutku perlahan. Aku berusaha tersenyum, lalu mengangguk. Meski air mata bercucuran. Otomatis bentuk kesedihan itupun membuat Arka memelukku dengan erat. Ingin ku katakan perasaanku padanya, setiap kali hangatnya dekapan ini seakan mendorong perasaan itu keluar. Tapi beberapa hal menahan. Terutama akibat yang akan ku tanggung setelah berhasil mengeluarkan cinta itu. Bagaimana bila nantinya Arka menjauhiku karena tidak memiliki perasaan yang sama denganku? Atau ia sedikit merenggangkan hubungan kami? Bagaimanapun sulit menyandingkan seseorang seperti diriku dengan Arka. Aku hanya seorang gadis bodoh yang tak dikenal siapapun. Tentu jauh berbeda darinya.. seorang yang tampan rupawan dengan segala yang bisa menjadikannya disukai semua orang.
Dua tahun lagi.. barangkali itulah satu-satunya pilihan akhirku. Hanya dua tahun lagi. Dan setelah itu.. aku tidak akan peduli apapun yang akan terjadi setelah perasaanku terungkap.
ya benar, dua tahun lagi. Aku akan mengungkapkan semua perasaanku terhadap dirinya, kalau perlu detailnya.

" Aku akan merindukanmu."ujarku dengan suara parau. Arkapun menarik diri. Lalu menghapus air mataku. Beberapa saat pandangannya terpusat ke arah mataku. Ia bungkam, tidak ada satu pergerakanpun yang ia lakukan. Seakan tengah bergulat dengan pikirannya. Beberapa detik kemudian nampaknya kesepakatan telah dicapai, lalu menempelkan bibirnya ke pipi kananku. Seraya mengelus bawah telingaku dengan tangan kanannya, sentuhan itupun membuat beberapa bagian tubuhku merangsang. Akupun menutup mata, merasakannya. Bibirnya perlahan beringsut mendekati ujung bibirku. Tak berhenti disana, bibirnya terus bergerak.. Lalu tiba-tiba berhenti di setengah bibirku. Elusan tangannyapun berhenti, mencekram erat. Aku menunggu lama untuknya dapat bergerak lagi. Lalu rasanya tak tahan, akupun berangsur-angsur menggerakkan tanganku mencekram pinggangnya. Besiap menggeser bibirku untuk menempel dibibirnya penuh. Tapi ketika aku bergerak, Arka malah menarik diri. Membuatku membuka mata, kaget. Tatapan kami hanya bertemu sekilas, lalu membuatnya mengalihkan pandangan.
Ia memberi batas pada persahabatan kami.
Sekali lagi. ia memberikan batas yang jelas.

" kau selalu memilikiku dimanapun aku berada!" matanya kembali menatapku, Lalu hanya beberapa detik Arka kembali mendekapku sejenak. Kemudian melangkahkan kakinya ke mobil hitam disamping kami. Aku hanya bisa melambai mengantarkan kepergiannya menjauhiku.

Setelah ini.. kesedihan akan kembali menyerangku. Tidak ada lagi MR. Hahaha.. tidak ada lagi Malaikat pelindungku. Bagaimana aku bisa bertahan dalam kehidupan ini, bahkan baru beberapa detik saja, aku merasa ingin menyerah.


Share:

0 komentar