Antah Berantah
Ayah masih mengendarai
mobil yang kami tumpangi sejak subuh tadi. Melewati jalan aspal yang
tehimpit hutan-hutan dengan pepohonan tinggi. Aku tak bisa membayangkan
kemana kiranya ia akan membawa kami pindah. Namun kini aku mulai
menebak, barangkali sebuah pedesaan dengan banyak sawah-sawah. Lalu aku
akan bersekolah ditempat yang muridnya kurang dari 10. Atau bahkan tidak
ada sekolahan disana. Tapi aku harus berhenti memikirkan teka-teki
tersebut, hingga mobil kami berhenti disebuah tempat. Karna bagaimanapun
tidak ada lagi yang tersisa. Kami sudah bangkrut. Bahkan menyisakan
banyak hutang. Dan itu sangat menyebalkan untuk diingat.
" Arzalea.. bisakah kau
ceritakan sesuatu padaku? lalu membuat perjalanan ini tak sesunyi
kuburan?" Suara kekesalan Lily membuatku mengangkat kepala dari jendela
mobil yang ku buka lebar. Aku tak mengerti apa yang ia maksud kesunyian,
Padahal dari tadi.. ia sibuk sendiri dengan ponsel yang beberapa bulan
lalu ayah belikan, ponsel tersebut di lengkapi dengan kamera dan
beberapa aplikasi canggih. Sedangkan aku, masih memakai ponsel buntut
yang hanya bisa digunakan untuk menelpon dan mengirim pesan. Karena
ketika itu aku diberi pilihan antara membeli kamera atau ponsel.
Tentunya aku memilih kamera, tapi tidak dengan Lily. Ku rasa ia lebih
pintar dariku. Ia memilih ponsel yang memiliki kemera. Tapi aku tak
memikirkannya, aku lebih menyukai kamera yang memang diciptakan untuk
memotret.
" Mainkan saja
ponselmu!" Jawabku menolehnya sekilas, Lalu memperhatikan hutan-hutan
gelap disampingku. Tiba-tiba ku dengar helaan nafas Lily yang langsung
ia hembuskan begitu cepat. Membuatku kembali menolehnya.
" Kalau aku tidak
kehabisan batrai aku lebih baik melakukannya." Bentaknya. Tatapan kami
hanya bertemu sedetik, lalu ia memalingkan pandangannya melihat keadaan
luar, lewat kaca mobil yang ia tutup rapat-rapat.
Itu selalu terjadi. Seakan pemandangan luar lebih indah dari melihat kakaknya sendiri.
Akupun mengabaikannya,
kembali menyandarkan kepalaku di jendela mobil. Sebenarnya rasanya tidak
enak. Bahkan terdengar jelas suara mesin tua mobil ini. Tapi kepalaku
enggan bergerak ketika menikmati sepoi-sepoi angin yang menyapu wajahku.
Aku tak percaya.. kami
melewati tebing-tebing curam. Ku rasa,sekali mobil yang kami tumpangi
terpleset, tak dapat dikatakan bahwa keajaiban akan mengangkat kami dari
jalan maut ini. Tapi beruntungnya, jalanan terawat dengan baik. Nyaris
tidak ada satu lubangpun. Bahkan pinggiran-pinggiran jalan di pagari
dengan besi yang terlihat cukup kuat.
" Lea.. tolong luruskan
kepala Vaad! kepalanya agak miring." suara mum membuatku kembali
mengangkat kepala, Lalu menatap adik laki-lakiku yang baru berumur 6
tahun.
" Malangnya nasibmu,
dik!" bisikku sembari menegakkan kepalanya yang tadinya miring. Ia pasti
lelah sekali, ikut serta dalam perjalanan panjang ini. Jangankan dia..
Aku yang biasanya begitu mencintai perjalanan, berubah muram tak jelas.
Bahkan ku tinggalkan kameraku begitu saja entah dimana.
Aku berusaha menutup
mataku, berharap ketika aku tersadar.. aku sudah di rumah baruku. Lalu
tak menebak-nebak lagi. Atau membayangkan kiranya apa yang akan terjadi
pada kehidupanku ketika aku bukan anak saudagar kaya lagi.
AᴥA
Beberapa suara mendiami
telingaku. Tapi terdengar samar-samar, seakan aku tak dapat menangkap
bahwa suara itu adalah kata. Tidak ada yang membuatku lebih sengsara
dari ini.
Perlahan ku buka
mataku.. tapi penuh dengan cahaya jingga matahari. Hingga membuat mataku
kembali menutup. Lalu lambat-lambat membukanya. Hal pertama yang ku
lihat adalah sebuah rumah cantik, dengan bangunan yang terlihat kuno.
Tapi terlihat tenang, dengan beberapa pepohonan dan tanaman hias
disekitarnya yang dilapisi sinar matahari setengah tenggelam.
" Mum.. ayo bantu aku
membersihkan kamarku." Sekonyong-konyong Lily muncul dari pintu masuk.
Lalu mum yang masih bercakap dengan ayah di depan mobil langsung ikut
masuk mengikuti Lily.
Kami memanggil Ibu kami;
Mumma. Entah darimana asal muasal panggilan tersebut, aku hanya ingat
sejak kecil memanggilnya mum. Panggilan Mumma tak seperti orang
indonesia pada umumnya. Kadang aku malah dianggap aneh oleh temanku.
Karna kebanyakan mereka memanggil Ibu mereka dengan sebutan Mama, Ibu,
Bunda, atau Mommy. Tapi apappun itu. Aku suka Mumma. Aku suka memanggil
ibuku; mum. Hal itu membuatnya terlihat berbeda. Dengan arti yang sama,
Ibu.
Tak lama suara Vaad membuat pandanganku berpaling. Ia terlihat lelah, bahkan bibirnya mulai menciut.
" Kita dimana?" tanyanya dengan suara parau. Ketakutan dalam tatapan matanya membuatku tak berdaya.
"masuklah.. bantu ibu
dan adikmu." Perintahnya setelah menatapku. Aku mengangguk enggan. Lalu
dengan malasnya membuka pintu mobil disebelahku.
Dalam redupnya senja..
Ku pandangi sekeliling rumahku penuh rasa penasaran. Pelahan mendapat
jawaban, perlahan mengulik tanya kembali. Tempat ini bak planet pohon.
Nyaris seluruh rumah memiliki ranting-ranting coklat yang mengotori
pekarangan. Tapi sisi baiknya.. udara yang ku hirup begitu segar.
Diantara pepohon hijau
yang kulihat, beberapa diantaranya tak ku ketahui namanya. Hanya daun,
ranting, dan batang sajalah yang ku tahu. Lalu menyimpulkannya sebagai
sebuah pohon. Selain itu.. rerumputan rata yang menyelimuti tanah
menyempurnakan sebutanku bahwa tempat ini adalah planet pohon, atau
barangkali aku harus mengubahnya ke planet rumput?
Didepan rumahku adalah
jalan beraspal luas. Tak seperti jalan masuk sama sekali. Jalannya
terlalu luas untuk jalan masuk, bahkan sebenarnya bisa dibagi dua dengan
pembatas ditengahnya, tapi tidak —tidak ada pembatas ditengah-tengah
selain garis putih yang terpotong-potong setiap sekian senti meter.
Rumah-rumahpun tertata
dengan rapi. Kebanyakan bertingkat satu dengan berbagai ukuran
perkarangan. Semakin besar rumah tersebut, semakin luas perkarangannya.
Entahlah bagaimana sebenarnya sudut pandang dikota ini. Yang ku tahu..
aku suka tempat ini. Ku rasa inilah tempat yang selalu ku mimpikan
seumur hidupku. Dan aku mendapatkannya —Bila saja aku tak sedang
bermimpi. Karena menurutku.. tidak ada tempat seperti ini. Tempat ini
terlalu sempurna. Dan hal itu mengundangku berteori bahwa aku tengah
bermimpi.
" Hei.. masuklah!
rapikan barang-barangmu dikamar yang baru." Suara ayah melintasi gendang
telingaku, lalu menyetrum otakku. Teori bermimpi itupun terpecahkan.
Aku menghirup udara segar yang nyata, perkarangan yang ku harapkan, dan
planet pohon yang ku impikan.
Aku melangkahkan kakiku masuk ke rumah tua.
Tak seperti rumah tua
pada umumnya, atau rumah kosong yang ditinggal penghuninya lama.. tempat
ini telihat lebih layak dari yang ku pikirkan. Segalanya tertata rapi,
barang-barangpun sudah berada pada tempatnya masing-masing seperti
sofa-sofa, hiasan dinding, maupun karpet yang berada dibawah meja.
(aku bersumpah tempat
ini jauh dari bayanganku sebelumnya. dan aku masih merasakan kejutan itu
bergetar dalam tulang belulangku.)
" Mum.. aku tidak mau
kamar itu! tidak ada berandanya." Suara keluhan Lily dapat ku dengar
jelas dari bawah. Lalu membuatku otomatis melangkah ke tangga untuk
melihat keadaan diatas. Tapi baru dua anak tangga yang ku lewati, Aku
dibuat tertarik oleh ruang belakang yang memperlihatkan perkarangan dari
balik dinding kaca. Secepat kilat.. akupun berubah pikiran, Lalu
melangkahkan kaki ke ruang belakang. Tempat itu; terbuka memanjang,
sebelah selatannya dapur dilengkapi meja dan kursi kayu model bar yang
berkaki panjang. Sedangkan untuk memandang keindahan pekarangan
belakang, terdapat sofa-sofa sintetis berwarna putih di utaranya.
" Rapikan kamarmu
sendiri, Lea." Suara Lily membuatku berpaling dari pemandangan
ranting-ranting, dan dedaunan yang berserakan. Lalu menoleh kembali ke
belakang, membuat Lily berlari. Ku ikuti langkahnya yang menginjak
anak-anak tangga yang akan membawa kami ke lantai atas.
Ada 4 kamar dilantai
atas. Satu kamar berpapasan langsung dengan depan rumah. Memiliki
jendela-jendela yang secara jelas menggambarkan keadaan jalanan
beraspal, juga rumah tetangga depan. Sedangkan ketiga kamar lainnya
tertata berhadapan. Dua dikanan dan satu dikiri, membentuk lorong
panjang ditengahnya sampai ke beranda. Tempat itu tempat terbaik untuk
menyendiri. Duduk meminum segelas kopi, atau hanya sekedar menikmati
serakan angin.
Aku dapat kamar depan.
Ini pertama kalinya aku tak berdebat dengan Lily untuk mendapatkan
sesuatu yang ku sukai. Biasanya aku harus bertarung dengannya lebih
dahulu untuk mendapatkan segalanya, karena dia seperti seorang
pengikutku yang paling patuh. Apapun yang ku inginkan, dia selalu
menginginkannya. Dan aku tidak menyukai itu, karena ku sadari dengan
sangat betapa anehnya diriku. Betapa sulitnya aku bergaul dengan
orang-orang. Betapa tidak masuk akalnya jalan yang ku ambil selama ini.
Aku tak ingin dia menjadi seperti diriku. Karna aku tidak baik. Tapi
faktanya.. adik selalu mengikuti kakaknya. Dan aku.. Aku hanya melangkah
mengikuti cahaya yang terpancar dalam pikiranku, entah itu benar atau
salah. Aku tak mempermasalahkannya. Asal aku dapat menikmatinya.
Setelah perpindahan
itu.. Sehari setelahnya para perempuan masih sibuk membersihkan rumah.
Tapi tidak dengan ayah, ia sudah datang ke sebuah perusahaan untuk
wawancara pekerjaan. Tentunya dia mendapatkan hal itu tidak dengan
sihir. Salah satu temannya yang menuntunnya, dan segala yang kami
rasakan disini adalah bentuk pertolongan temannya —om Alfan.
Akhirnya kamarku sudah
rapi. Aku memilih sprai kesukaanku berwarna biru muda polos, beserta
selimut dengan warna kontras merah tua. Hanya agar terlihat lebih
berwarna. Pakaianku sudah ku pindah dari koper, ke lemari tua dari pohon
cemara. Hanya saja.. laptopku belum mendapatkan tempat
" Tiness.. Tennessee.. "
Ayah berteriak-teriak seperti kebiasaan Lily. Kini aku tidak heran
kenapa Lily suka sekali berteriak-teriak. Sudah terpecahkan darimana dia
mendapatkan sifat itu.
" Aku mendapatkan
pekerjaannya!" ku dengar suaranya lebih pelan. Membuatku keluar kamar,
menengok apa yang terjadi. Mum tengah memeluk ayah diberanda yang
terlihat jelas dari pintu kamarku.
Tak lama Lily keluar dari kamarnya, Membuat mum beranjak dari dekapan ayah. Lalu tiba-tiba memanggil kami berdua.
" Sekolah kalian akan
berjalan besok! jadi.. Ayah ingin kalian mengambil beberapa les yang
kalian sukai!" Belum langkahku sampai dihadapannya, aku sudah diberitahu
hal menyebalkan yang sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu. Kenapa
dimana-mana harus les? Tidakkah para orangtua mengerti, aku ingin
memiliki waktu luang untuk menggali keahlianku.
" itu bukan ide yang
bagus, Yah." jawabku sembari terduduk di sofa Recliner bermotif floral
ungu dari bahan sintetis yang ada disebelahnya.
" Tidak.. kau harus mengambil salah satunya." Tegas Ayah. " Ada les Matematika, Bahasa inggris, Les piano, les balet.. atau.."
" Pilih Lea.." Lily yang masih berdiri tegak memaksaku.
" Les piano." jawabku
singkat. Sebenarnya aku tak terlalu tertarik dengan dunia piano. Hanya
saja.. barangkali akan asik bisa menciptakan melodi sendiri.
Tentu saja Lily juga memilih les piano. Ia selalu mengikuti apapun yang ku pilih. Dan itu menyebalkan.
" tidak.. Kau tidak bisa
memilih les piano, aku tak ingin bertanggung jawab atas keselamatanmu
setiap waktu, Lily." Aku berdiri dengan jengkel.
" Hei.. bukankah lebih
baik melakukan segalanya berdua? kalian bersaudara." Mum mencoba
menangani sikap burukku —menengahi. Itu benar untuk saudara normal.
Tapi aku tidak baik, aku tidak bisa menjadi contohnya, aku sendiri tak
siap untuk menjadi contoh. Bahkan harusnya Lily bisa lebih baik dariku.
Bila tak mengikuti langkahku.
" Pilih saja les yang
lainnya.. Ayah tak hanya menawari kita les piano." bantah Lily. "
Bagaimana dengan matematikan? kau selalu dapat nilai jeblok." Ucapannya
mengingatkan nilaiku pada semester ini, yang mendapatkan nilai lebih
buruk dari semester sebelumnya.
" ya.. kau mendapat 57." Ucapan ayah seakan mendukung saran Lily, tanpa menimbang-nimbang kembali.
" Itu tidak adil, Yah!
aku tidak suka matematika. Angka-angka akan membunuhku." Aku melotot
meneriakan kekesalanku akan rumus-rumus, angka-angka, dan segala hal
yang membentuk matematika. Tapi mereka malah setengah tertawa. Lalu
tiba-tiba hening. Ku pandangi mereka bergantian, hanya mum yang tengah
memandangku.
" Ah.. " ujar mum,
suaranya saru. " Kalau begitu.. bagaimana bila.. hmm.. mum sudah
mendapatkan informasi bahwa disini ada perpustakaan besar yang memiliki
kelompok membaca." Aku menaikan kedua alisku dengan cepat—Kaget. " Hmm..
Kau hanya harus menyisakan waktumu kurang dari dua jam setiap hari,
membaca sebuah buku yang sama dengan teman kelompok membacamu. Lalu
kalian akan mendiskusikan isinya." Penjelasan mum membuat tubuhku loyo,
yang langsung tergeletak disofa.
" Mum
merekomendasikannya!" Sesaat tatapan kami bertemu. Ku rasa
penolakankanku sudah terpancar jelas dari pandangan mataku. Hingga
tiba-tiba membuat mum kembali bersuara."Kebanyakan membahas buku
pelajaran. Tapi dikemas dalam percakapan yang lebih santai. Tak terlalu
formal."
Oh sial! Buku! Akh..
membaca! Aku tak mengerti kenapa kehidupanku penuh dengan paksaan?
Seakan-akan aku sengaja diciptakan hanya untuk menurut. Tapi aku ingin
merubah ini.. kalau bisa. Konyolnya pikiranku malah menjawab tidak
—dengan mengingatkanku akan takdir yang tak dapat diubah. Dan itu tidak
akan adil sama sekali untuk melanjutkan hidup.
" Tidak bisa bu.. itu
tidak adil sama sekali." Aku menggeleng dengan penuh penolakan. Tapi
hanya dibalas kedua orangtuaku dengan senyuman. Itu menandakan bahwa aku
tidak punya pilihan lain selain apa yang mereka katakan.
Tags:
Tertanda
0 komentar