c | Melodi terjebak (1) Fate | Journey To Northen Light

Melodi terjebak (1) Fate

Aku masih duduk disini, menggenggam tiket bus kedua setelah tiket pertama yang terbuang sia-sia. Aku ingin kembali, tapi hatiku berkata tidak. entah mana yang harus ku jalani. aku selalu menyarankan diriku untuk memilih kembali. bagaimanapun tidak ada yang bisa diselamatkan dalam ingatan memori itu. satu-satunya kenyataan yang ku tahu, itu adalah kenangan. tapi setiap bus muncul, dan aku bersiap masuk.. seperti sesuatu menahan langkahku. lalu menahanku tetap disini.

Kurang dari sejam lagi, bus terakhir menuju Atlanta akan muncul. Tapi aku masih membeku ditempatku, menimbang-nimbang keputusan tersebut.

Aku menyandarkan kepalaku lemah. lalu menatap langit-langit dan membayangkan masa depanku. ku tatap sekelilling ku sepi. hanya ada beberapa orang asing yang tak ingin ku lihat agar tak menyita pikiranku.

Beberapa menit kemudian, aku melihat seorang pria mengenakan tudung jaketnya sembari menggendong gitar yang tertutup rapat ditas. pria itu mengingatkanku pada seseorang yang membuatku melarikan diri ke Nashville. tapi aku tahu itu hanya ilusi yang dibuat ottakku. Lagipula penglihatanku juga masih samar-samar akibat air mata yang brcucuran mengingatnya.— Rupanya berefek lebih buruk dari yang ku pikirkan.

Aku mengalihkan pandanganku ke jalanan. samar-samar aku menangkapnya duduk disampingku. kenapa harus disampingku??? bukankah banyak ruang kosong lain? aku menggerutu dalam hati.

Pria itu nampak sedih. tatapannya selalu tertuju ke bawah. aku ingin memastikan wajahnya, tapi aku takut aku teringat lebih banyak tetang pria masa lalu ku itu. aku mengetuk-ngetuk tanganku ke paha, iseng-iseng mencari kesibukan atas lamanya kedatangan bus. Lalu tak sengaja jam ku terjatuh ke lantai. buru-buru aku mengambil. namun ternyata pria itupun tak segan membantu. karena aku tak ingin terlalu berhutang budi. akupun mengambilnya dengan sigap dan duduk normal kembali. lalu aku memberanikan diriku menatap pria itu.
Mata coklatnya yang memikat membuatku terperajat. Aku diingatkan semua hal, mulai dari alisnya, hidungnya, hingga bibirnya. itu bentuk yang sama dari pria masa laluku.

"Tennessee.." Pria itu memanggil dengan suara merdu. aku kaget. mengedikan mataku berulang-ulang memastikan kebenarannya.
"Apa itu kau? Nashville Tennesssee?" panggilnya memastikan. itu nama lengkapku —nama misteri yang ayahku berikan hanya karna ia mendapatkan sesuatu yang begitu berharga diNashville.

Aku memilah kenangan indah yang dibuat kepalaku.
"Mi-mikael?" kemudian terucaplah nama pria masa lalu itu.

Miki—panggilan akrabku. ia melebarkan bibirnya ragu-ragu. menimbang-nimbang keadaan ini. tapi aku langsung tersadar kalau aku tidak bermimpi. aku sudah menghabiskan waktuku berjam-jam untuk memikirkan segalanya yang kebanyakan berhubungan dengannya.
Ia pria yang sama. hanya saja terdapat rambut-rambut tipis menutupi dagunya dan atas bibir.
Aku tak menyangka pria itu ada disini. itu sama seperti aku bisa menghitung jumlah bintang. terakhir yang ku tahu kabarnya, ia kuliah di Semarang, Indonesia. tapi sekarang aku menemuinya di Nashville, Tennesssee, US. apa namanya kalau bukan keajaiban?

"Aku tahu, kau akan sampai ke Nashville." katanya. aku mengangguk. namun bernostalgia mendengar suaranya. lalu ingatan akan keindahan masa lampau yang kami lalui —yang masih bertumpuk dalam otakku.

"Aku tidak mau kesakitanku akibat seorang laki-laki sia-sia." jawabku sinis. itu sindiran tajam untuknya. Miki tersenyum. seakan mengerti maksud ucapanku.
Aku menarik kepalaku memandang jalanan. hanya tak ingin terlalu jauh terjebak dalam jeratnya lagi. tapi aku malah ingat hari pertamaku duduk disampingnya ketika kami masih SMA. kala itu ada kejadian lucu yang membuat kami terjebak lama dalam pandangan diam-diam. tapi kemudian memudar cepat sekali, berganti oleh beberapa petir yang menyambar, ketika ia memutuskan mengakhiri hubungan kami.

"Kenapa?" Sepertinya ia memperhatikan ekspresi wajahku dari tadi. bila tidak ia tak mungkin mendapatkan perbedaan yang mendasar lalu bertanya.

"Aku ingat hari dimana kau berkata pergi." gumamku menundukan kepala.

"Lalu air mata bertumpuk disudut matamu. Aku ingin mengusapnya dengan ketulusan jiwaku. Tapi terlambat. Mereka berlari keluar membanjiri pipimu." lanjut Mikael membuatku menoleh.

"Aku sekarat. dan kau tahu itu." tambahku memandang wajahnya. secara tidak langsung aku meminta penjelasan akan sikapnya dulu.

"Aku minta maaf!"

"Sudah ku maafkan." Mikael mendengus. sulit baginya mempercayai.

"Cepat sekali." gumamnya.

"Aku menunggu terlalu lama dalam proses, jadi aku ingin mempermudah proses yang menyangkut diriku —agar mereka lebih cepat bahagia."

"Itu mesti sulit." aku mengangguk dan tak bisa mengelaknya.

"Tapi terbayar oleh kebahagiaan yang ku lihat." setelah ucapanku suasana berubah senyap. aku ingin berbicara banyak hal, tapi suaraku tertelan kembali bersama ludah. aku mengerti sudah banyak yang berubah sejak 5 tahun ini. atau mungkin aku sudah bukan gadis manja itu lagi, yang apa-apa bergantung pada seseorang. ugh entahlah. ku harap aku memang seseorang yang lebih baik.

"Memangnya apa proses yang kau tunggu?" Mikael memulai pembicaraan. aku menolehnya—tersenyum setengah.
"Aku ingin mempermudah proses itu untukmu. jadi kau tak perlu menunggu terlalu lama lagi untuk bahagia." lanjutnya. aku memandangnya lama, menatap beberapa bagian dalam matanya yang mulai sulit ku percaya.

"Tidak, terimakasih. aku bisa sabar menunggunya." aku tidak ingin terjebak dalam melodi yang sama, lalu membiarkannya merabik-rabik harapanku secepat dunia berlalu.

"Kalau begitu aku juga akan menunggu." putusnya.

"Kenapa?" aku mendadak penasaran.

"Mungkin kau hanya perlu waktu untuk bisa mengizinkanku." Matanya melebar, persuasif.

Aku mempertimbangkan setiap gerakan yang ingin ku buat. tapi matanya yang memikat menghentikanku disana. ia mencegatku lagi. menghadangku dengan segala pesonanya yang tak pernah terkalahkan. aku ingin, sekali saja, bisa mengelak itu untuk diriku sendiri. hanya ingin membuktikan bahwa aku berkuasa atas diriku. bukan pria itu. tapi ia sudah merenggut ruang dalam hatiku terlalu banyak. Lalu mengisinya dengan berbagai warna tak tehingga yang ia gabungkan untuk membentuk warna baru.

Aku selalu menyerah karena cahaya bepijar-pijar itu.
Aku tertunduk dibawah cahaya jingga yang membentuk tangga menuju surga.
tapi aku tahu, itu ilusi.

Aku membangunkanku dari mimpi-mimpiku yang tak pernah padam.
Aku terbangun, tapi tetap memegangnya.

Entah bagaimana harus ku pelajari keduanya.
aku hanya tahu. aku masih bermimpi sekalipun mataku sudah terbuka lebar.


Share:

0 komentar