c | Patahan Penghubung | Journey To Northen Light

Patahan Penghubung

Aku berdiri di kelilingi kegelapan ganas yang menyengat kulitku. Udara malam dipenuhi kutukan dingin. Jari jemari pucatku bergetar lagi, dan lagi, suara riuh menggema di ujung bukit. Hempasan abstrak membanting suara di depan, angin bergemuruh menerjang langkahku, badai mendadak di mulai di tengah antah berantah. Mataku tidak menangkap sesuatupun untuk ditakuti atau menjadi tempat naungan. Hanya suara tak beraturan yang menggerikan memenuhi galaxy setengah ruang yang menjebakku.
Aku beringsut menggerakkan kakiku. Mustahil memikirkan arah kemana. Hanya beralihlah menjadi satu-satunya harapan. Tapi perasaan ku lelah lebih cepat, dan karena tiada sesuatupun itulah aku kemudian putus asa. Sekali lagi aku memastikan sekelilingku bukan tidak ada harapan, dan yeah, karena itu tidak terjadi sekali, akupun berlari entah ke arah mana. dan lagi lagi tulang belulangku lunglai hanya memikirkannya.
aku menutup mata.
Menyerah.
Tapi secara ajaib suara-suara tidak menyenangkan sebagai salah satu simbol kutukan itu lenyap entah kemana. Kepalaku bergemuruh penuh lingkaran tanya. Dan dengan penuh keberanian yang mempercepat degupan jantungku, aku membuka mata.
Sssttt.. aku terdampar didepan rumahku. Cuaca cerah penuh kehijauan yang biasanya menyegarkan pikiran berganti dengan segumpalan awan pekat, seseorang berjubah panjang dengan tudung di kepalanya membelakangiku. Atmosfer was-was menyulap kecanggungan. Aku bergerak hati-hati, dan mendekat. Tubuh tegapnya menguras seluruh penasaranku. Satu langkah lagi, dan kami akan memandang kejauhan bukit bersama, tapi karena aku tidak bisa membaca pikirannya akupun harus memastikan seseorang itu, ku kenal. Tangan kananku secara reflek beringsut, dan menyentuh pundaknya. Orang itu perlahan menunjukan wujudnya. Aku terpesona oleh mata birunya yang setengah berkilau menatapku. Hidung mancungnya perpaduan yang serasi dengan bibir tipis atas dan bibir tebal bawah. Belum selesai aku mengagumi pancaran warna indah wajahnya, angin berhembus ganas menerjang tudung pria itu, rambut perunggu bergelombang berhamburan, dan sebuah tanda berkilau di daerah lehernya. Aku tersedak menatap tanda X dengan panah diujung tarikan garis kiri itu. Kilaunya yang membakar ingatanku tenggelam dalam kegelapan.
Secara bersamaan hujan mengguyur awan gelap yang runtuh.
Aku terlonjak, dan mengerjapkan mata. Kakiku bergerak kejar kejaran dengan tanganku, menuju meja di samping kiri tempat tidurku. pikiranku berhamburan, namun dengan cekatan aku menemuka  kertas dan pensil. Aku menurunkan ingatan mimpiku dalam kertas. Coret kanan, coret kiri,buat lengkuangan garis, mengusap-ngusap.., semuanya terjadi berulang dengan kejur. Dan kemudian sosok pria dalam mimpiku itu tepecahkan dalam bentuk rupa tampan dalam gambar sketsa.
Mimpi yang sama berbulan-bulan. Setiap tunggal malam yang diapit lingkar misteri.
Aku tertegun setiap kali mengingatkan. Teori bermimpi itu tak jarang ku tolak mentah-mentah ketika mata biru dengan tatapan penuh pikat itu ada dalam kepalaku.
Setahun belakangan, sejak perpindahanku ke kota terpencil penuh misteri malaikat ini, malam-malam aneh berganti dengan mimpi yang sama. Konyolnya, sekalipun sudah ku persiapkan dari jauh jauh waktu sebelum tidur untuk mengingat keadaan mimpi itu, aku selalu lupa, dan alur ceritanya sudah dibekukan dalam setiap gerakan sama.
Aku selesai dengan gambaranku, dan memandang heran wajah asing penuh pertanyaan itu.  Aku sudah mencari wajahnya diseluruh kota, aku sudah melototi setiap pria yang ku temui, tapi keadaan ganjil ini mempercundangiku setiap waktu. Ratusan sketsanya berserakan dikamar, sebagian lukisan berwarna yang mempesona ku tumpuk di meja, dan sebagiannya lagi tersebar disepanjang dinding kamarku.
Pria asing itu menarik ulur perasaanku dengan mendatangi mimpiku setiap malam. Aku pernah berpikir ia hanya bagian imajinasi gadungan yang terselip dalam bayanganku, namun bila melihat gelap-gelap ketidaksadaranku dikuasainya, akupun tidak bisa mengartikan keadaan ini dengan biasa.
Aku mengenyahkan pikiran tidak logis itu, lalu berbalik le kamar mandi untuk mandi.
Ugh aku mau apa lagi ya? Sejak kelulusanku setahun lalu hari-hariku tiada arti. Awalnya ku pikir orangtuaku akan ke Boston, ada salah satu universitas yang sangat ingin ku masuki disana, akupun sudah merundingkannya dengan ibu, tapi mereka malah menjebakku ke kota terpencil. Bagaimana tidak, disepanjang jalanan aku hanya bisa melihat pepohonan lebat yang tingginya mustahil diukur, lalu tebing-tebing berair mempesona dengan warna bening.

Share:

0 komentar