c | Tertanda, Arzalea | Journey To Northen Light

Tertanda, Arzalea

Hari-hariku berlalu begitu saja tanpa kejelasan. Kebanyakan ku habiskan di perpustakaan. Rumahku seakan sudah tak bernyawa sejak pertengkaranku dengan Arka.

Lily selalu sibuk dengan banyak kegiatan. Ekstrakulikulerlah, Leslah, atau hanya sekedar nongkrong bersama teman-temannya.

Aku nyaris menghabiskan waktuku seperti Mum. Membaca buku, dan membaca buku. Mestinya pengetahuanku sedikit bertambah. Walau terkadang kesunyiaan seakan dapat mengambil jiwaku kapan saja. Membuat pikiranku melayang, berangan-angan, malah terkadang mengkhayal. Dan sekarang.. kesunyian tersebut terenggut pada pandangan Arka.
Arka lagi.. Arka lagi.. Kenapa sih? Padahal kini aku sudah mulai menyukai membaca.

Ini sudah seminggu. Aku bahkan mulai tak pernah melihatnya. Entah dengan alasan apa, Aku sungguh merasa kehilangan. Seakan kehilangan bagian jiwaku yang lain. Entah bagaimana penjelasan yang logis mengenai apa yang ku rasakan saat ini. Hanya.. yang ku tahu, Aku kesepian tanpa Arka.

“ Lea.. kelompok membacanya akan dimulai!” Mum memperingatkanku ketika aku masih menikmati duduk sendirian dipojok meja membaca yang menghadap ke dinding.

“ ya.. Mum. aku tahu.” jawabku sembari menutup buku tentang penemu-penemu. Aku tak sempat membacanya, Kepalaku terlanjur diisi bayangan Arka. Senyum manisnya, tatapan tajamnya, juga mimpi-mimpi anehnya yang terkadang ku bayangkan ketika kami hidup dalam situasi tersebut.
Aku mengambil buku Penemu-penemu tadi, Lalu menaruhnya di rak, untuk dijejerkan dengan yang lain. Setelah itu.. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu keluar perpustakaan. Hanya beberapa langkah saja.. ku lihat langkah Vim yang sekonyong-konyong mendekatiku dengan panik.

“ Kau pasti tak akan percaya mendengar ini!” Suaranya nyaris seperti jeritan. Tapi bukan jeritan bahagian. Melainkan sesuatu yang membuatnya kaget. Suaranya yang nyaring Membuat beberapa orang, termasuk Mum memusatkan pandangannya ke arah kami berdua. Sebelum satu persatu peringatan muncul, Ku tarik tangan Vim keluar dari perpustakaan.

“ ini tentang Arka..” ucapan Vim membuatku berhenti berjalan.

“ Ia berpacaran dengan teman sekelas kami.” lanjut Vim.

Jangan Riri Riana. Jangan Riri Riana.
Hatiku memohon-mohon, berharap bukan gadis iblis itu.

“ Riri Riana.” Akh.. hatiku pun sekarat. Entah apa yang terjadi dalam tubuhku, rasanya nyaris seperti menghirup asap beracun yang setiap helaan nafasnya membuatku semakin lemah.

“ Kau tak apa-apakan, Lea?” Kini Vim mulai dapat mengontrol suaranya. Membuatku sadar, bahwa yang ku dengar bukanlah imajinasiku.

“ tidak.” Aku menggeleng dengan loyo.

“ Tapi ku rasa ia tak benar-benar menyukai Riana.” Vim berusaha melerai perasaanku yang tengah berkecamuk.

“ aku tak punya alasan untuk tidak mengakuinya.” Ujarku sedih.

“ Kau punya alasan, Lea!” Kata Vim memegang tangan kananku. “ Arka tak pernah menceritakan apapun pada teman-temannya. Dulunya.. waktu SMP. Ketika dikelas kesenian, guru keseniannya menanyakan kedekatan kalian. Arka hanya tersenyum, tak menjawab. Lalu malah membuat guru kesenian itu menebak kalian berpacaran. Arku mengelaknya dengan menjawab kalian masih berteman. Tapi guru keseniannya tak percaya, Pikirnya tak mungkin seorang teman bisa setiap hari pulang pergi bersama. Lalu Arka memberitahunya kalau kalian teman curhat.” Penjelasan Vim membuatku terdiam memudarkan bayanganku tentang Arka dan Riana sejenak.

“ Tentunya semua teman sekelas Arka mengetahui kebenaran tersebut. Termasuk gadis iblis itu.” Penjelasan Vim terdengar masuk akal. Tapi “Bagaimana kau tau tentang itu?” tanyaku terheran-heran. Kini aku malah penasaran mengetahui asal usul cerita itu, ketimbang Riana yang sudah menjadi pacar Arka.

“ Aku bertanya pada Arka!” jawabnya singkat.

“ dan dia bercerita begitu saja?”

“ Tentunya tidak. Tapi setelah ku ceritakan betapa murungnya kau akhir-akhir ini.. Ia mulai menceritakan yang sebenarnya.” Jelas Vim kembali.
Aku terdiam beberapa saat—merenung.

“ Seakan mataku tertutup.. ingin cinta ini kau sambut..” Tiba-tiba ponselku berbunyi, diiringi oleh lagu Bondan yang berjudul Bunga. Aku memotong lagunya pada bagian reff untuk dijadikan bunyi panggilan masuk.

Ku ambil ponselku dari kantung celana jeansku, masih dengan diiringi lagu Bondan. “ akan perasaan ini kau tahu.. sungguh ku ingin kau jadi milikku.”
Itu merupakan bunyi dari sebuah alarm yang ku buat. “ Besok adalah ulang tahun Arka! Hadiahnya harus disiapkan dengan baik.” Tulisannya terpampang jelas dari layar ponselku yang lebarnya mencapai 4,5 inci.

Menulis alarm diponsel adalah kebiasaanku. Aku selalu menuliskan hari-hari penting sehari sebelum hari H, atau pagi-pagi sekali pada hari H. Tujuannya hanya satu.. agar aku tak lupa.
Aku masih membiarkan lagu Bunga terputar mengiringi pikiranku yang seakan amnesia. Aku tak mengerti mengapa aku bisa lupa?

“ Besok ulang tahun Arka?” Vim membangunkan lamunanku yang berkelana. Aku mengangguk bingung. “ Ini kesempatanmu, Arzalea. Ia pasti berdoa agar kau kembali padanya. Perbaiki hubungan kalian, Lea.. ” Tatapannya berharap. Tapi aku malah pesimis. “ Riana pasti sudah menggantikanku.” Gumamku pada Vim. Tapi ia menggeleng.

“ Aku yakin kau tak pernah tergantikan.. Kalian bahkan sudah berteman selama 3 tahun.” Vim benar-benar berusaha memutarkan otakku pada kenangan-kenangan indah bersama Arka. “ Pebaiki sekarang, Lea. Atau kau akan menyesalinya seumur hidupmu.” Kalimat itu bergema dalam telingaku. Baru seminggu saja aku sudah sangat menyesal, apalagi seumur hidup?
Bagaimana caranya aku memperbaiki hubunganku dengan Arka? Aku bahkan tak yakin ia akan menerimaku kembali. Bagaimana pun caranya aku akan mengucapkan selamat ulang tahun untuknya? Lewat media sosial? Akh tidak bisa. Nantinya dia akan tahu kalau aku yang mengucapkannya. Bagaimana kalau membuat akun baru dengan nama berbeda? pasti bakal lama.
Lalu dengan cara apa? Aku tak mungkin mengirimnya lewat pesan singkat. Mungkin saja nomerku masih disimpan.

Aku ingin mengucapkan selamt ulang tahun untuknya, tanpa menyebutkan namaku. Tapi bagaimana?
Entah bagaiman akhirnya pikiranku mendapat ide.. Tiba-tiba aku teringat sebuah surat. Aku hanya tinggal menulisnya untuk Arka, lalu mengantarkannya sendiri didepan rumahnya ketika ia tak dirumah.. ia pasti akan membacanya. Ah masa iya surat? ini sudah bukan zamannya lagi memakai surat. Tapi.. lewat apa lagi selain itu?

Tanpa mengatakan apapun pada Vim, aku langsung berjalan pulang untuk menulis surat. Aku tak memikirkan kado sama sekali, Arka memiliki segalanya. Semahal apapun yang ku belikan untuknya pastinya tak terlalu istimewa karna ia bisa membelinya. Aku hanya ingin sesuatu yang bisa terus berguna untuknya. Tapi ia sudah memiliki segalanya. Kecuali menjadi dokter gigi. Tentu tidak semua orang mendukung mimpinya, termasuk Ibunya. Tante Diana lebih suka Arka menjadi pengusaha alat musik seperti Om Yayid. Tapi sayangnya.. bukan disana dunia Arka. Jadi.. ku rasa lebih baik aku menjadi Malaikat pelindung mimpinya.

Ku sobek selembar kertas dibuku pelajaranku. Lalu dengan terburu-buru mencari pulpen ditas sekolah yang ada dimeja belajar. Setelah itu.. aku menghela nafas panjang, menenangkan pikiranku, merangkai kalimat. Lalu aku mencoretkan tinta lewat pulpen yang ku pegang..

Untuk Arka yang memiliki mimpi-mimpi aneh
Aku tahu begitu banyak hal yang ku lewati tanpa sempat mempertanyakan kebenaran akan apa yang ku ketahui.
Tapi aku selalu tahu bahwa sepanjang hal-hal tersebut berlalu, tak ada hariku yang ku lewati tanpa mengingat senyummu.
Sejujurnya aku tak mengerti bagaimana bisa seseorang yang awalanya begitu dekat dengan kita, tiba-tiba menjauh hanya karena hal yang terkadang tak benar-benar dikatakan dengan tulus.
tapi begitulah yang terjadi, seakan dunianya telah digariskan untuk mengikuti alur lengkungan itu.

Hari ini.. 12 Agustus.. usiamu 17 tahun.
Aku selalu berharap bisa menyakiskanmu tumbuh menjadi pria dewasa setiap detiknya.
Tapi faktanya aku tak memiliki kesempatan itu lagi.
Tentu aku menyesali beberapa hal.. misal setiap detiknya yang berlalu tanpa dirimu.
Tapi aku mencoba mengerti bahwa kehidupan telah berubah.. tidak ada yang berjalan sama.

Kau pasti ingat bagian itu?
atau sudah lupa?

kau bahkan sudah memiliki kehidupan baru yang barangkali aku sudah tergantikan seutuhnya dihatinya.

Kalau begitu.. Selamat Ulang Tahun.
Semoga menjadi seseorang yang lebih baik.
Ingatlah dimanapun kau berada..
aku akan selalu menjadi Malikat Pelindung Mimpimu.

Ku baca ulang surat yang ku tulis untuk Arka. Lalu setelah sampai pada ujungnya.. Aku bingung untuk menulis kata penutup. Biasanya tertulis Yang terhormat, atau Hormat saya, atau dari sahabatmu, dari temanmu, salam, atau yang terksayang.. tapi semua kata itu tak cocok sama sekali untuk surat yang ku tulis untuk Arka. Hingga pada akhirnya pikiranku menampilkan kata baru yang sepertinya sesuai.
Ku tulis kata Tertanda. Awalnya aku sempat ingin menuliskan namaku dibawahnya, Tapi perasaanku yang menduga-duga ekspresi Arka ketika mengetahui surat ini kiriman dari mantan sahabatnya.. Aku berubah pikiran. Dalam pikiranku Arka akan segera merobek suratku, atau langsung mengumalnya dan membuangnya ke sampah. Terlebih yang sebenarnya dia tidak salah. Akulah yang dari awal membuat kesalahan.

Akhirnya ku kosongkan namaku. Lalu ku cari amplop untuk membungkus surat dari kertas buku tulis tersebut. Tentu ku tulis depannya untuk Arka. Menghindari kejailan Wulan, tante Diana, maupun om Yayid.

Aku sunguh-sungguh berharap Arka tidak dirumah. Dengan begitu ketika ku pencet tombol bell rumahnya.. Ia tak akan langsung tahu bahwa aku yang mengirim surat.
Dengan terburu-buru, dan penuh hati-hati, Ku letakkan didepan pintu rumah Arka. Dengan sirgap, Akupun kembali pulang. Lalu memperhatikan pintu rumah Arka lewat jendela kamarku. Aku menunggu suratku diambil seseorang. Tapi aku terlalu tolol.. Setiap sore Arka selalu memiliki kegiatan. Yang paling sering sepak bola. Ia tak akan pulang secepat ini. Ini bahkan belum jam 4.
Lambat laun aku bosan oleh suasana hening ini. Lalu membuatku merebahkan badan di kasur. Entah apa yang terjadi.. Ketika aku terbangun. Lampu kamarku sudah terang benderang. Dan keadaan luar sudah berganti malam.
AᴥA
Ini hari yang baru.. Ku lihat tadi pagi suratku sudah tidak didepan pintu rumah Arka lagi. Itu berati.. ada yang sudah mengambilnya. Ku harap Wulan tidak lancang membaca surat untuk Arka. Entah alasan kejailannya, penasarannya, atau.. apalah. Aku sungguh berharap, orang pertama yang membacanya Arka.

“ Ayolah Lea, ganti baju dulu.. nanti kau bisa kemari lagi!” Mum mengomel. Sudah tak terhitung berapa kali ia memperingatkanku dari pulang sekolah tadi. Aku malas pulang ke rumah, apalagi kalau tidak ada orang. Yang ada aku malah kepikiran Arka terus menerus. Dan itu terasa mengesalkan.

“ Aku lelah, Mum.” keluhku sembari menyandarkan kepalaku disofa yang tak jauh dari meja tempat pendaftaran anggota perpustakaan, tepatnya.. tempat kerja Mum.

“ Kak.. menurut kakak warna apa yang cocok untuk sepeda motor ini?” Vaad menunjukan gambaran sepeda motor tipe matic. Gambarannya terlihat elok, bila tak terbiasa melihat gambarannya, mesti akan dikira bukan Vaad yang menggambar.

Ku ambil buku gambar Vaad yang ukurannya sama dengan kertas HVS A4. Lalu ku tengok-tengok gambar-gambarnya sebelumnya. Semuanya tentang sepeda motor dengan tipe berbeda-beda. Sepeda Motor Harley, Motor Trail, dan Vespa.
“ Kenapa sepeda motor semua?”

“ Aku ingin jadi pembalap.” Jawabnya. Aku tersenyum kecut. Hanya terheran-heran anak 9 tahun sepertinya sudah memikirkan tujuannya. Maksudku.. wajar ketika anak-anak ditanyai sebuah mimpi lalu ia menjawab dengan lantang keinginan tersebut. Dulunya ketika aku masih kelas 1 SD, mimpiku ingin menjadi pramugari. Tapi mimpi itu hanya berlalu begitu saja.. aku bahkan tak memikirkan bagaimana aku akan menjadi pramugari. Tapi tidak dengan Vaad.. Dia seakan sudah merencanakan mimpinya dengan matang.

“ Seperti Marquez?” tanyaku. Ia mengangguk.

“ Tapi aku ingin memecahkan rekornya.” Jawabnya penuh percaya diri. Aku mengangguk. “ Kau harus melakukannya!” tuntutku.

“ Ngomong-ngomong, kakak suka warna apa? ”tanya mengalihkan pembicaraan.

“ kenapa?” tanyaku seperti orang babal. Vaad tersenyum lebar, Lalu mengetuk lembut gambarannya
dengan jari telunjuk. Membuatku merasa menjadi orang paling tolol.

“ ungu. ” jawabku sembari memberikan gambarannya. Lalu Vaadpun mengambil pensil warna ungu.
Menunggu Vaad menyelesaikan gambarannya dipenuhi warna, Mataku penasaran menatap keadaan perkarangan belakang perpustakaan lewat pintu kaca yang berada dibelakang sofa yang kami duduki. Hawanya panas dingin. Ku pikir hujan atau panas yang berlebihan diluar sana. Tapi tidak.. segalanya nampak normal. Lalu ku alihkan kembali pandanganku menghadap ke depan—ke pintu masuk perpustakaan. Tapi alangkah terkejutnya aku.. Aku melihat sosok Arka lewat pintu kaca tengah berjalan menuju pintu perpustakaan. Entah apa ini halusinasiku; Ia memakai celana selutut, yang dipadukan kaos coklat pendek. Langkahnya begitu jelas semakin mendekat, bahkan mulai mendorong pintu. Lalu kepalanya menengok-nengok, mencari sesuatu, hingga berakhir ke arahku.

Aku belum siap menemuinya.. Lalu dengan sigap aku berdiri,menuju lorong panjang rak-rak buku. Tak lupa pula ku ambil salah satu buku untuk menemaniku. Ketika ku tengok, rupanya buku yang mempelajari tentang Logaritma Matematika. Ini akan menjadi waktu yang melelahkan bila aku tetap bersih kukuh membaca buku itu. Hingga akhirnya aku membalikkan badan, berniat mengembalikan buku. Eh.. malah Arka yang ku lihat. Ia tengah berjalan mendekatiku. Tak mau terlalu canggung ketika bertatap muka dengannya, aku kembali membalikkan badan. Lalu berjalan sembari membuka-buka buku yang sudah terpaksa ku ambil.

“ Hei..” suara merdu itukembali meramaikan telingaku.
Aku menoleh ke sampingku. Arka sudah memasang lesung pipitnya yang manis. Membuatku melebarkan bibir. Lalu matanya tiba-tiba teralihkan dari pandanganku ke buku yang ku bawa.

“ Sejak kapan kau suka matematika?” Pertanyaan itu tak seperti pertanyaan yang sebenarnya. Ia bahkan menaikan alis kirinya dengan senyum keheranan. Itu berarti sebenarnya ia ingin bilang “ Jangan bertingkah aneh.”

“ Aku berusaha menyukai matematika.” Jawabku sembari berjalan. Menahan malu.
Arka masih disampingku, mengikuti langkahku.

“ Terimakasih.” Kata Arka membuatku bingung, tapi tak menghentikan langkahku melaju.

“ untuk apa?” tanyaku memandangnya sekilas.

“ Ucapan selamat ulang tahun yang kau kirim lewat surat!” jelasnya. Aku kaget—bingung tepatnya. Bagaimana bisa ia mengetahui itu? Aku bahkan tak menuliskan namaku.
Suasana terasa semakin canggung untukku.

Aku terhenti mendadak. Lalu menggerakkan badanku menghadap ke Arka. “Ba-bagaimana..?” Arka tersenyum semakin manis. “ A-aku.. aku tidak..” Tiba-tiba kata berhamburan dalam kepalaku, mereka berebutan keluar lewat tenggorokan, tapi tidak ada yang bisa keluar. Mereka terjebak disana bersamaan.
Arka menatapku lama didampingi senyumnya. Lalu tangannya bergerak ke belakang. Mengambil sesuatu. Ternyata surat.“ Sebenarnya ini surat pertama yang ku terima.” Arka menunjukan suratku. Bila ada kata yang lain selain malu untuk mengekspresikan rasa malu yang amat sangat.. aku akan menggunakan kata itu untuk mendiskripsikan perasaanku sekarang.

“ ini kado paling istimewa yang pernah ku dapatkan!” lanjutnya. aku masih terjebak jengah.

“ Bagaimana bisa kau berpikir aku yang mengirimnya? bahkan tidak tertulis namaku disana.” Sebisa mungkin aku berusaha bersikap normal. Aku terlalu malu dihadapannya. Berbeda sekali dengan aku sebelum kami saling menjauh.

Arka masih mempertahankan senyumnya untukku. Lalu menggeleng sembari menyelipkan bibir atasnya ke sela-sela giginya.
“ hanya namanya yang tak tertulis.. tapi sejujurnya aku sudah bisa melihat siapa pengirimnya dari bentuk tulisannya.”

“ Tidak... itu tidak adil.”

“ Kalau itu masalahnya.. ” mata Arka mulai berpencar mencari sesuatu. “Tunggu..” lanjutnya. Lalu ia berjalan meninggalkanku dengan langkah yang cepat. Entah kemana perginya. Beberapa detik kemudian ia kembali muncul membawa pulpen.

“ Hanya nama pengirimnya sajakan?” tanyanya. Aku mengangkat kedua pundakku sebentar. Lalu Arka mengambil beberapa buku dirak belakangnya, dipindahkan ke rak dibawahnya. Ia hanya membuat ruangan untuk menuliskan sesuatu di surat yang ku buat untuknya.
Aku penasaran, Lalu bergerak mendekatinya. Belum sempat ku tengok apa yang ia lakukan, lelaki dengan jakun begitu jelas itu langsung menghadap padaku.

“ Tertanda, Arzalea.” Arka membacakan yang barusan ia tulis sembari menunjukan surat yang ku buat. Aku berusaha menahan senyumku, dengan menutup rapat bibirku.

“ selesai. Sekarang kau bisa mengakui bahwa ini surat darimu.” Lanjutnya kembali menekuk suratku. Lalu menyimpannya dikantung celana. Setelah itu memfokuskan pandangannya kembali ke mataku. Hatiku luluh, senyumku mekar begitu saja menatap wajah malaikatnya. Terlebih aku tak tahan berpura-pura tak menyukai senyumnya.

“ Akhirnya aku dapatkan senyum itu lagi.” kata Arka melamun menatapku.

“ Kalau begitu selamat ulang tahun. Semoga menjadi seseorang yang lebih baik.” Aku menjulurkan tanganku, membuat Arka tertawa. Meski iapun menjulurkan tangannya.

“ Aku bersumpah, itu surat terbaik yang pernah ada.” Puji Arka membuatku tertawa konyol. Iapun masih belum mau melepaskan pegangannya dariku.

“ Lepaskan tanganku, Lalu traktir aku.” Pintaku yang ia respon dengan gelengan.

“ Aku tak akan membiarkanmu pergi lagi.” Jawabnya memudarkan senyumku. Ku harap ia benar-benar akan melakukannya.

“aku juga.” Ucapan singkatku membuatnya tersenyum semakin manis.

“ Kalau begitu lanjutkan belajar matematikanya.” Ukh Arka. Kenapa ia menyuruhku? Bahkan ia tahu persis kalau aku tidak suka matematika.
Aku menggeleng dengan kesal. Mataku melotot, menekan bibir atas dengan gigi bawah—Membuat Arka terkekeh.

“itu tidak adil Ar, ini ulang tahunmu.” Ku tarik tanganku dengan sigap. Lalu menggengam tangan kirinya, Memaksanya keluar dari perpustakaan bersamaku.

“ Tapi sekarang kau suka matematika, bahkan sampai lupa mengganti seragam sekolah.” Ia masih memojokkanku agar aku mengakui kalau aku hanya berpura-pura menyukai matematika untuk menghindarinya.

Setelah hari itu berlalu.. hariku kembali dicoreti warna oleh Arka.

Aku tak peduli bila selamanya waktu yang lama, atau tak akan ada yang bertahan dalam waktu selama itu. Aku hanya tau, aku bahagia disamping Arka. Terserah bagaimana selamanya berjalan.. atau waktu berguling-guling mengubah segalanya.. aku tak peduli lagi. Aku sudah keluar dari garis, mencapai ujung menara dunia. Aku tak menunggu tentang cahaya kembali.. Tapi aku menikmati cahaya yang sudah ku miliki.. karena keadaan sudah kembali pada kehidupan murni yang memberi banyak kesempatan.


Share:

0 komentar